Sultan Manshur Syah, Pelopor Kebangkitan Aceh Abad XIX

Ibrahim Mansur Syah, Pelopor Kebangkitan Aceh Abad XIX
Makam Paduka Sri Sultan 'Alaiddin Manshur Syah bin Sultan Jauharul 'Alam Syah, Baperis, Banda Aceh. Foto: Mapesa Aceh

Babak pertama pemerintahannya, yaitu ditahun 1857 M, beliau sudah membina perjanjian persahabatan dengan Belanda bahwa kedua negara akan terus bersahabat, warga negara keduanya bebas berdagang di kedua wilayahnya, saling bantu, dan jika ada salah paham harus diselesaikan dengan perundingan.

Namun belum kering tinta tanda tangannya dibubuhinya, Belanda sudah ingkar janji. Di akhir penghujung tahun 1857 M, Belanda sudah mulai memainkan permainan liciknya dengan menekan Sultan Ismail Siak untuk menandatangani perjanjian. Hal ini, Sultan Ismail tidak bisa melepaskan diri dari tekanan Belanda. Karena beliau mempunyai hutang budi terhadap Belanda dalam pemulihan kembali beliau atas singgasana Kerajaan Siak.

Perjanjian Siak, yang lebih dikenal dengan Siak Tractaat, sangat ditentang oleh Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah. Karena dalam perjanjian ini Belanda mengakui wilayah Asahan, Deli, Langkat dan Tamiang sebagai wilayah Kerajaan Siak. Padahal Belanda tahu pasti bahwa Asahan, Deli, Langkat dan Tamiang merupakan daerah kedaulatan Aceh. Menanggapi perjanjian Siak, Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah mengambil tindakan :

1. Memprotes kesembronoan dan pelanggaran hak Aceh oleh Belanda.
2. Mengirim utusan pemeriksa ke Sumatera Timur untuk mempertegas sejauh mana kesetiaan negeri-negeri di bagian tersebut.

***

Awalnya Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah tidak memikirkan untuk memprotes perjanjian Siak langsung ke Batavia. Namun pada tahun 1860 M dua buah kapal Belanda yang masuk ke Kluang (pantai Barat) telah disita oleh pembesar Aceh karena melanggar peraturan Aceh yang berlaku. Atas perintah Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah, kedua kapal tersebut diseret ke Pantai Banda Aceh (Ibu kota Kerajaan Aceh). Akibat peristiwa ini diprotes oleh Belanda dengan mendatangkan korvet “Groningen” ke Aceh untuk menuntut penjelasan. Namun Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah tidak memberi perhatian akan hal ini. Maka terpaksalah korvet tersebut pulang lagi ke Priok (Batavia) untuk meminta instruksi lebih jauh.

Tahun 1862 M Gubernur Jenderal Belanda Sloet van de Beele menugaskan komandan Brutal da la Riviere dengan kapal perang “bromo” untuk memimpin perjalanan ke Aceh untuk menuntut penjelasan atas penyitaan 2 buah kapal Belanda di Kluang (Pantai Barat). Menanggapi hal ini, Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah menegaskan bahwa dasar persoalaan ini adalah Belanda itu sendiri, karena Belanda telah melanggar wilayah Aceh dalam perjanjian Siak. Ketika Brutal bertanya sejauh mana wilayah Aceh, Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah dengan tegas menjawab bahwa tapal batas Aceh ke bagian selatan sampai ke tanah Putih Ayam Denak (batas Panai/Rokan).

Dalam kesempatan itu juga Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah memberitahukan agar persoalan tapal batas segera diselesaikan dengan perundingan. Sultan menegaskan bahwa Aceh tidak akan membiarkan setiap pelanggaran di wilayahnya, setiap tapak yang diserobot akan dipulihkannya kembali, jika perlu dengan kekuatan. Sultan mengatakan, Allah akan memberi bantuan kapadanya dalam mempertahankan wilayah kedaulatan Aceh.

Related posts