Sultan Manshur Syah, Pelopor Kebangkitan Aceh Abad XIX

Ibrahim Mansur Syah, Pelopor Kebangkitan Aceh Abad XIX
Makam Paduka Sri Sultan 'Alaiddin Manshur Syah bin Sultan Jauharul 'Alam Syah, Baperis, Banda Aceh. Foto: Mapesa Aceh

Perjanjian Belanda-Aceh pada tahun 1857 M yang isinya sangat jelas mengikat kaki Belanda agar tetap menjaga baik hubungan dengan Aceh dan tidak boleh menjajahnya, bagi Belanda rupanya itu hanya dimanfaatkan untuk mengulur waktu. Sebab setelah perjanjian itu disepakati dengan mudahnya Belanda menginjak kedaulatan Aceh di pesisir Sumatera Timur bahkan di tahun 1873 M Belanda menyerang wilayah inti Kerajaan Aceh.

Sri Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah merupakan salah seorang Sultan Aceh. Beliau adalah anak dari pada Sultan Jauharul ‘Alam Syah. Beliau diperkirakan lahir sekitar tahun 1808 M. Sebelum menjadi Sultan beliau lebih dikenal dengan nama Tuanku Ibrahim. Sewaktu kecil Tuanku Ibrahim sudah kelihatan tanda-tanda kepintarannya, bahkan disebut-sebut sebagai pengganti yang tepat untuk menduduki singgasana kelaknya.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah, Tuanku Ibrahim bersama 2 orang saudaranya, Tuanku Raja Muda dan Tuanku Abbas, ikut aktif medampingi Sultan dalam menjaga dan mengawasi ketertiban hukum, keamanan, perdagangan dan pelayaran dalam wilayah Kerajaan Aceh. Tuanku Ibrahim sendiri, diberi wewenang di pantai barat selatan Aceh, yaitu kawasan yang sudah lama dikenal dengan panglima-panglima yang ogah-ogahan, bahkan tidak setia lagi kepada Sultan Aceh.

Pada tahun 1841 M (1257 H) Tuanku Ibrahim ditabalkan menjadi Sultan Aceh menggantikan Sultan Alaidin Sulaiman Ali Iskandar Syah yang mengundurkan diri. Sultan ini dikenal dengan sosok yang tegas dan berjiwa besar. Beliau bercita-cita untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Aceh seperti dahulu kala. Karena itu beliau sangat membenci kolonialis Belanda dan berusaha untuk merebut kembali daerah-daerah kekuasaan Aceh yang telah dirampas oleh Belanda yaitu, Trumon, Singkil, Barus dan Nias.

Dalam memerintah, Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah menerapkan kebijakan yang ketat terhadap kapal-kapal Asing yang memasuki perairan Aceh. Tidak sungkan beliau menindak langsung setiap pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal asing yang memasuki perairan Aceh tanpa seizin dari Sultan/Petugas Sultan.

Atas kecakapan dan kebijaksanaannya, dalam rentang tahun 1853 M – 1854 M, Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah telah berhasil kembali memulihkan kondisi politik dan keamanan di pesisir Timur, khususnya Deli, Serang dan Langkat, yang dulunya telah dipaksa bekerja sama dengan Belanda dan telah kembali mengakui dan tunduk di bawah kedaulatan Aceh dengan memakai bendera (Alam) Aceh di kapal perangnya. Karena kesetiaan ini, Panglima Husin selaku utusan Sultan Aceh memberi anugerah gelar kepada Tengku Ngah Langkat yang juga Pangeran Mangku Negara Raja Muda Langkat, menjadi Pangeran Indra Diraja Amir. Sultan Usman Deli diberi kuasa oleh Sultan Aceh menjadi Wakil Sultan dan digelar Deli dengan “Deli Serambi Aceh”. Sultan Basaru’ddin Serdang mandapat titel “Wazir Sultan Aceh”.

Usaha untuk mempertahan kedaulatan dan kehormatan Aceh tiada hentinya diusahakan oleh Sultan ‘Alaiddin Manshur Syah. Bahkan, pada tahun 1849 M Sultan mengirim Muhammad Rus (Ghuts) yang lebih dikenal dengan Sidi Muhammad sebagai utusan Aceh untuk diplomasi ke berbagai negara seperti Turki, Perancis, dan berbagai negeri lainnya. Mengenai Muhammad Rus atau Sidi Muhammad ia sendiri diceritakan sebagai pribadi yang ambisius dan sangat benci akan imperialisme Belanda di Nusantara. Bahkan Sidi Muhammad meramalkan bendera Aceh tak lama lagi akan berkibar di Betawi (Batavia).

Related posts