Mengais rupiah di TPA Banda Aceh

Mengais rupiah di TPA Banda Aceh
SITUASI TPA Banda Aceh. FOTO : Fahzi

SEJUMLAH pemulung terlihat sibuk mengais tumpukan sampah yang sudah menggunung tersebut. Dari gunungan limbah rumah tangga itu, mereka membongkarnya sedikit demi sedikit.

Sementara, sebagian lainnya, terlihat sedang menunggu truk pengakut mengeluarkan sampah yang setiap harinya ditumpukkan di tempat penampungan akhir  (TPA), Gampong Jawa lorong 5, Jumat (12/02/2015) sore.

Ketinggian sampah hingga puluhan meter ini merupakan sampah yang setiap harinya yang ditumpukkan dari kota Banda Aceh dan Aceh besar, dari pantauan Kanalaceh.com hampir setiap 10 menit sekali mobil pangakut sampah bergantian menuangkan sampahnya.

Pemulung itu hampir rata-rata usia yang lanjut, mereka tidak sedikitpun terlihat mengeluh dan terus mengait sampah dengan besi panjang yang mereka gunakan, pemulung itu mencari dan mengumpulkan botol bekas air mineral, botol kaca, kardus, atom dan barang lainnya yang layak mereka jual akan dikumpulkan sebanyak mungkin, bila sudah banyak maka nantinya diijual.

Pekerjaan ini mereka lakukan setiap hari dari mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, jikapun sanggup mereka melanjutkan pada malamnya juga, itupun bila kesehatan mendukung.

Saat ditempat pekerjaan mereka tidak ada warung, tidak ada tempat peristirahatan untuk berteduh dan tidak ada suara merdu, semerdu suaranya  truk pengangkut dan mobil alat berat (Beko)disamping mereka, setiap hari hanya itu yang mereka dengarkan, kata bosan bukan untuk mereka, kerapian dan kebersihan tidak layak dibicarakan, kewangian hari ini masih sama tentunya, sangat jauh dari perbincangan, tetapi bagaimana hari ini lebih banyak dari hari sebelumnya kita kumpulkan.

Sarida (40), salah seorang pemulung di kawasan tersebut, kepada Kanal Aceh, bercerita banyak, memulai dari pukul 06.00 pagi sampai 18.00 WIB. Semua hal itu Ia lakukan setiap harinya. “Kadang-kadang sampai malam baru pulang,” tuturnya.

Ayah dari empat orang anak ini berhasil mendapatkan keuntungan jerit payahnya perhari Rp. 50.000 sampai Rp. 80.000, tidak cukup memang, tetapi ini yang setiap hari dilakukan demi istri dan empat anaknya. “Perhari saya kadang Rp. 50.000, ada juga sampai Rp. 80.000, memang kalau dibilang tidak cukup, tapi bagaimana lagi”ungkapnya tersenyum.

Sarida asli dari Lhokseumawe ini menambahkan ada sekitar 50 orang pemulung yang ada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), terdiri dari orang Aceh, Jawa, dan Nias.“sekitar 50 orang lah ada, pemulung ini dari Aceh,Jawa dan Nias” tutupnya.

Muslim Hasan (63), salah seorang pemulung lainnya menceritakan, dirinya telah menjadi pengepul barnag bekas di TPA ini selama 6 tahun. Sebelum menggantungkan hidup dari lautan sampah ini, tutur Muslim yang merupakan ayah dari 5 anak, dirinya bekerja sebagai tukang bangunan. “Dulu saya bekerja di bangunan, tapi usia makin uzur, tak sanggup lagi kerja berat sebagai kuli bangunan,” ungkapnya.

Ayah yang lewat paruh baya ini menambahkan, pekerjaan yang dilakukan ini dimulai dari pukul 07.00 pagi sampai siangnya. “Mulai dari jam 07.00 saya sudah disini dan pulangnya saya tidak tentukan, biasanya siang saya pulang, tetapi kalau sanggup saya balik lagi, maklum kondisi tidak memungkinkan lagi, perhari kadang saya dapatkan Rp.30 ribu hingga Rp.50 ribu,  tambah Muslim sambil memasukkan berbagai plastik dan barang bekas ke kantong yang Ia telah siapkan.

Saat ditanyakan harapan, Muslim hanya menginginkan memiliki rumah untuk menghabiskan masa tuanya, sebab, ungkapnya, hingga saat ini dirinya tidak memiliki rumah yang layak huni. “Rumah ada, tapi tidak layak huni,” tuturnya. Karena itu dirinya berharap, Pemerintah Aceh dapat membantu membuatkan rumah, atau setidaknya merehab rumah yang saat ini Ia tempat, pinta Muslim dengan mata berkaca. [Fahzi]

Related posts