Kisah bu guru asal Aceh berpuasa di NTT

Ernawati, guru asal Aceh yang berpuasa si Manggarai, Nusa Tenggara Timur. (Ist)

Manggarai (KANALACEH.COM) – Ernawati adalah guru Sekolah Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Terpencil (SM3T) yang ditempatkan di SMA Negeri 2 Rahong Utara di Beokina, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Ketika Ramadan tiba, Ernawati bersama teman seprofesi Rizhka Surya Ningsih yang juga berasal dari Tanah Rencong merasakan pengalaman unik dan jauh berbeda dibandingkan suasana bulan puasa di kampung halamannya.

Berikut kisah Ernawati yang baru tiga bulan bertugas di Manggarai, seperti dituturkan kepada Beritasatu.com, Jumat (10/6):

Tanggung jawab sebagai guru SM3T adalah panggilan dan pilihan hidup saya, dan pada hari-hari puasa ini harus saya lewati jauh dari sanak keluarga.

Mimpi menjadi orang yang berguna bagi bangsa mengalahkan egoisme pribadi untuk bisa selalu dekat dengan keluarga di setiap Ramadan, dan itu adalah cita dan perjuangan saya.

Pengalaman berpuasa bersama teman seiman (Rizkha Surya dari Aceh, Ana Lglila, Helmi Harimurti Andaika dari Jawa Tengah, Nova Dwi Demantoro, Mery Listianah dari Jawa Timur ), sangat sesuatu sekali bagi kami di Beokina, desa Golo Langkok, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Ini pertama kali kurasakan, sejak tiga bulan yang lalu ketika ditempatkan di SMA Negeri ini sebagai guru.

Hingar bingar nuansa Ramadan yang biasa kita dengar melalui media massa baik televisi, radio, maupun surat kabar, kini kurang kami rasakan. Bahkan aku pun harus merasakan tinggal di lingkungan yang sangat kurang dalam hal menunjukkan aura Ramadan. Tentu hal ini sangat berbeda seperti dirasakan di tempat kami di Aceh yang dijuluki Serambi Mekah itu, yang setiap menitnya penuh dengan puji-pujian terhadap kehadiran Ramadan.



Ya, puasa kali ini adalah pengalaman pertama di pulau yang dijuluki Pulau Bunga besutan bangsa Portugis, dan membuat masyarakat di tempat ini 100 % beragama Katolik. Tentu kami merasakan jauh dari berbagai kebiasaan keluarga semasa Ramadan, jauh dari keusilan sahabat karib saat membangunkan sahur.



Berbagai aktivitas dan rutinitas pendidikan di sekolah ini tetap menjadi hal yang wajib dilakukan dan tak boleh ditinggalkan, meskipun saat ini adalah waktunya hampir libur setelah usai melaksanakan ujian semester. Berkejar-kejaran dengan waktu sesuai tuntutan kurikulum yang merupakan tanggungjawab sebagai seorang guru, membuat hari-hari di bulan puasa ini sedikit memiliki nuansa berbeda.



Lagi pula tempat ini bukan kota tetapi kampung di Kabupaten Manggarai NTT, menyebabkan variasi menu berbuka maupun sahur minim dan kami terpaksa memasak sendiri. Di tempat ini tidak ada penjual makanan, sebab budaya masyarakat Manggarai adalah engan menjual makanan, jika ada orang asing yang datang maka wajib hukumnya untuk diberi makanan (manga meka, manga hang = Ada tamu, ada nasi. Toe tura’s tuda, toe tombo’s cokol = berutang untuk menjamu tamu tidak diketahui orang).



Jauh berbeda dengan kondisi masyarakat Aceh. Ramadan benar-benar menjadi bulan penuh berkah bagi pedagang makanan dan minuman. Berbagai menu tradisional hingga modern tersedia dengan berbagai variasi. Bahkan sudah menjadi rahasia umum bagi para pemburu kuliner Ramadan, keberadaan pasar Ramadan pada jam-jam tertentu ternyata memberikan harga yang sangat murah.

Sebagai orang dari Provinsi Aceh yang ditempatkan di Flores, awalnya sangat galau bercampur cemas terutama ketika area berpikir tentang isu SARA merebak kencang di negeri ini. Akan tetapi setelah beberapa bulan, bahkan hari pertama berada di tempat ini, masyarakatnya sangat welcome terhadap kami.

Soal keyakinan itu adalah hak setiap orang, agamamu adalah agamamu. Hal ini mungkin erat kaitannya dengan ajaran yang mereka anut yaitu cinta kasih: “cintailah sesama seperti dirimu sendiri” yang baru kali ini saya dalami. [Beritasatu]

Related posts