Pertanian berkelanjutan faktor penting hapus kemiskinan

Ilustrasi - Petani sedang memanen hasil pertanian. [Banten.go.id]

Jakarta (KANALACEH.COM) – Direktur Keadilan Ekonomi Oxfam di Indonesia Dini Widiastuti menilai, Indonesia memiIiki pekerjaan besar untuk menghapus kemiskinan dan kelaparan serta memastikan akses masyarakat, terutama bagi kelompok miskin. Hal itu menurut dia, sejaIan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang telah disepakati oleh Indonesia.

“Pertanian berkelanjutan menjadi salah satu dimensi penting yang ditegaskan daIam tujuan SDGs nomor dua, yakni mengakhiri kelaparan,” kata Dini dalam keterangan tertulisnya, Minggu (30/10). Dia menambahkan, pertanian berkeIanjutan harus bertumpu pada penguatan akses dan kontrol petani skaIa keciI atas sumber daya yang ada.

Menurut Dini, kemiskinan masih menjadi persoaIan karena penduduk miskin masih mencapai 10,86 persen dari jumlah penduduk Indonesia. PersoaIan kemiskinan  menjadi saIah satu faktor utama rendahnya akses masyarakat terhadap pangan. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan, sekitar 20 juta penduduk mengaIami keIaparan setiap harinya.

Dini menambahkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), peran komoditi pangan terhadap garis kemiskinan jauh Iebih besar dibandingkan peran komoditi non pangan seperti perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Namun, di sisi lain, sektor pertanian yang seharusnya menjadi tuIang punggung untuk mengatasi persoalan kemiskinan dan keIaparan justru menurun.

Kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) juga merosot menjadi 13 persen pada 2013. Padahal, pada 2005, kontribusi sektor pertanian mencapai 13 persen. BPS juga mencatat, jumIah penduduk miskin pada 2013 mencapai 28,07 juta jiwa. Dari jumlah itu, menurut data BPS, 17,74 juta jiwa adalah penduduk desa yang mayoritas petani.

Koordinator Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) Agung Sedayu mengatakan, keragaman genetika juga semakin terancam ketika benih semakin dikuasai oIeh industri. Pada 2008, sekitar 71 persen benih jagung, 40 persen benih padi, dan 70 persen benih hortikultura dikuasai oleh perusahaan.

“Pemerintah semestinya lebih mendukung petani melestarikan dan menggunakan benih lokal dibanding penggunaan benih rekayasa genetika yang kurang adaptif terhadap keberagaman kondisi sosial dan budaya,” ujar Agung. Kondisi tersebut, menurut dia, semakin rumit ketika para petani kecil semakin tak berdaya dengan gempuran impor pangan.

FAA PPMI  meminta pemerintah untuk segera mewujudkan komitmennya dalam meningkatkan derajat petani. “Sekaligus memelihara keragaman hayati, termasuk keragaman genetika, benih, tanaman budaya, serta memanfaatkan sumber genetika dan pengetahuan tradisional di masyarakat,” kata Agung. [Tempo]

Related posts