Soal perkembangan kasus RS Sumber Waras, ini penjelasan Ketua KPK

KPK usut pemberian jam tangan Johannes Marliem untuk Setnov
Ketua KPK, Agus Rahardjo. (Antara Foto)

Jakarta (KANALACEH.COM) – KPK belum mendapatkan fakta baru dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pembelian lahan RS Sumber Waras, Jakarta seluas 3,64 hektare.

“Kami belum ketemu dengan BPK. Ketemu dengan BPK bisa jadi paling cepat dua minggu yang akan datang,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Selasa (6/12).

Pada Kamis (1/12) lalu, Agus mengaku ia sudah diinformasikan mengenai fakta baru terkait penyelidikan pembelian tanah RS Sumber Waras dari BPK, namun ia belum mendapatkan data tersebut.

“Kami masih menunggu informasi dari BPK karena katanya ada informasi dan data baru mengeenai pengadaan tanah yang lain, misalkan Cengkareng dan Sumber Waras. Jadi kami ingin gali itu kemudian kami ingin menggali informasi dari mereka mengenai proyek-proyek ‘off-budget’, jajaran pimpinan belum bertemu,” tambah Agus.

Data tersebut selanjutnya akan dikaji KPK dengan data lain yang sudah dimiliki seblumnya.

“Misalkan ‘off-budgeting’ diskresi diperkenankan kalau aturannya belum ada dan mendesak. Kita lihat apakah kondisinya mendesak atau tidak, kemudian peraturannya ada atau tidak. Kalau secara undang-undang ada aturannya yaitu UU No 1 Perbendaharaan dan UU No 17 tentang Keuangan Negara, jadi nanti kita lihat secara utuh,” jelas Agus.

KPK pada 29 September 2015 mengeluarkan surat perintah penyelidikan No 65 tahun 2015 dan berkoordinasi dengan tim audit BPK untuk mendapatkan dapat data dan dokumen.

Tim penyelidik KPK sudah merekomendasikan untuk menghentikan penyelidikan terhadap pembelian RS Sumber Waras meski laporan audit hasil investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan ada kerugian negara sebesar Rp 191 miliar.

Berbeda dengan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas Laporan Keuangan DKI Jakarta 2014 yang menyatakan pembelian tanah itu berindikasi merugikan keuangan daerah hingga Rp 191,3 miliar karena harga pembelian pemprov DKI terlalu mahal.

Perbedaan itu karena ada perbedaan aturan yang dipakai oleh auditor BPK dan penyelidik KPK karena penyelidik KPK menggunakan Peraturan Presiden No 40 tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 71 tahun 2012 tentang Penyelnggaraan Pengadan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, khususnya pasal 121 yang berisi pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih lima hektare dapat dilakukan langsung oleh instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.

BPK mengacu pada harga pembelian PT Ciputra Karya Utama (CKU) kepada Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) tahun 2013 sebesar Rp 564,3 miliar. CKU kemudian membatalkan pembelian lahan itu karena peruntukan tanah tidak bisa diubah untuk kepentingan komersial. [Republika]

Related posts