Ini perbedaan kebebasan pers di Malaysia dan Indonesia

Indeks Kemerdekaan Pers, Aceh ke 1 sedangkan Jakarta ke 25
Ilustrasi - Para jurnalis di Banda Aceh mengumpulkan id card pers dan alat lainnya, Jumat (19/8) sebagai bentuk aksi solidaritas kepada dua jurnalis di Medan yang dipukul oleh anggota TNI AU. (Ist)

Surabaya (KANALACEH.COM) – Dua pakar mengungkapkan perbedaan ancaman kebebasan pers di Malaysia. Jika di Negeri Jiran pers diterungku oleh kekuasaan pemerintah, di Indonesia kebebasan pers terancam oleh aksi premanisme dan ancaman pembangkrutan melalui peradilan perdata.

Pengajar University of Malaya, Malaysia, Azmi Sharom, menilai kondisi Indonesia lebih baik dibanding Malaysia dalam hal kebeasan pers. Menurut dia, selama ini media massa di Malaysia harus memiliki lisensi yang musti diperbarui setiap tahun.

“Pemerintah bisa melarang penerbitan surat kabar yang dianggap merugikan dan membahayakan keamanan negara,” katanya dalam seminar indeks kemerdekaan pers Indonesia di Universitas Surabaya, Jumat (9/12).

Azmi mengatakan, pada Oktober 1987 pemerintah mencabut izin tiga surat kabar berbahaya Melayu, bahasa Inggris dan bahasa Mandarin karena dianggap merugikan negara. Lisensi dicabut selama lima bulan.

Dua tahun lalu, kata Azmi, seorang jurnalis juga ditangkap polisi karena pemberitaan. Bahkan pemerintah melarang tokoh yang tak disukai membuat siaran pers. Surat kabar, katanya, diawasi secara ketat, sedangkan media siber tergolong longgar.

“Rata-rata surat kabar dimiliki oleh tokoh partai politik,” katanya. Tak hanya surat kabar, katanya, ada 1.700 judul buku yang dilarang beredar.

Herlambang Perdana Wiratraman dari Human Rights and Law Studies Universitas Airlangga menilai  ancaman kebebasan pers di Indonesia dan Malaysia berbeda.

Media massa di Malaysia rawan dicabut lisensinya namun di Indonesia selama beberapa tahun terakhir muncul gejala aksi premanisme seperti perusakan dan pendudukan kantor perusahaan pers karena pemberitaan. “Juga muncul gejala gugatan media ke pengadilan,” katanya.

Gugatan dilakukan secara bersama-sama kepada sejumlah media massa sekaligus. Beruntung pengadilan tak memenangkan gugatan tersebut.

Ada upaya pembangkrutan dengan menggugat perdata dalam jumlah besar. Sehingga ada tekanan secara profesional melalui lembaga peradilan.

“Padahal banyak media yang tak memiliki tim hukum,” katanya. Herlambang menilai selama ini tak ada fakultas hukum yang memberikan mata kuliah kajian hukum pers.

Mahasiswa hanya diajarkan pidana pers dan delik pers. Dia berharap delik pers sudah tak ada, tapi menggunakan mekanisme mediasi Dewan Pers untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan.

Dalam bagian diskusi lain, anggota Kelompok Kerja Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Christiana Chelsia Chan, mengungkapkan indeks kebebasan pers di Indonesia.

Menurut dia, Jawa Timur menempati rangking ke-14 dalam indeks kebebasan pers di Indonesia. Jawa Timur mencatat skor 62,81 dalam kategori sedang. Kalimantan Barat menempati urutan pertama dengan skor 75,68 disusul Nangro Aceh Darussalam dengan nilai 72,39.

“Survei dilakukan di 24 Provinsi,” kata  Chelsia. Survei dilakukan sejak Mei 2015 untuk memotret kondisi kemerdekaan pers. Survei, katanya, dilakukan mengimbangi Indeks Kemerdekaan Pers yang dikeluarkan oleh sejumlah lembaga luar negeri.

Lantaran selama lima tahun terakhir posisi Indonesia berada di urutan bawah. Posisi Indonesia masuk 100 besar saat 1999 setelah dikeluarkan Undang-Undang Pers. Saat itu, pers bebas setelah selama orde baru senantiasa dalam tekanan dan intervensi pemerintah.

Survei juga memasukkan aspek Hak Asasi Manusia (HAM) karena kebebasan pers bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Chelsia menyebut ada 20 indikator utama dalam survei antara lain akses terhadap media alternatif, kebebasan berserikat, intervensi terhadap pendidikan jurnalis dan akses informasi publik.

“Juga mempertimbangkan perlindungan terhadap kelompok rentan atau disabilitas,” katanya.

Dia menyebut ada lima indikator ancaman yang memperburuk kemerdekaan pers antara lain ketergantungan perusahaan media terhadap APBD, rendahnya kesejahteraan jurnalis dan toleran terhadap suap atau amplop jurnalis. Kondisi ini mengancam profesionalisme jurnalis.

Peneliti kemerdekaan pers dari Pusat Kajian HAM Universitas Surabaya Aloysia Vita Herawati menjelaskan survei dilakukan terhadap 13 informan ahli.

Mereka berasal dari profesi yang beragam yakni unsur akademisi, aktivis media, pelaku bisnis media, jurnalis, dan pejabat publik.

“Aparat penegak hukum tak menggunakan Undang Undang Pers sebagai payung hukum juga berkontribusi terhadap rendahnya indeks kemerdekaan pers di Jawa Timur,” ujarnya.

Survei ini merupakan yang pertama dilakukan Dewan Pers untuk mengukur indeks kemerdekaan pers.

Hasil survei akan didesiminasikan ke akademisi, aparat penegak hukum, organisasi pers dan pelaku media. [Tempo]

Related posts