Ini cerita Darwati A Gani saat menghadapi tsunami 2004 silam

4 langkah cegah pornografi di Aceh menurut Darwati
Darwati A Gani.

Pemimpin yang Diselamatkan Allah SWT dari Gempa dan Tsunami Dahsyat 26 Desember 2004
(Kenangan Darwati A. Gani 12 tahun yang lalu)

Saat itu kami hidup di situasi yang tidak normal. Suami saya Irwandi Yusuf menjadi tahanan politik.

Setiap pagi menjadi kebiasaan saya adalah memasak dan mengantarkan nasi goreng halia ke Lembaga Pemasyarakatan Keudah sekaligus mengantarkan koran Harian Serambi Indonesia.

Kami makan bersama setiap pagi dengan duduk saling berhadapan tapi dipisahkan oleh jeruji besi. Tidak ada keluh-kesah. Kami menganggap itulah kehidupan yang harus kami jalani saat itu.

Pagi itu di Lingke, saat baru saja selesai menyiapkan makanan, tiba-tiba gempa dahsyat datang. Saya beserta anak-anak yang masih kecil serta 2 asisten rumah tangga, yang membantu saya sehari-hari berlarian keluar dan duduk saling berangkulan diatas tanah, semua ketakutan, menangis, berdoa kepada Allah..

Setelah gempa reda, suami saya menelfon, menyampaikan hari ini tidak usah datang ke LP. Ia menyarankan saya agar dirumah saja bersama anak. Itu percakapan terakhir di telefon karena terputus dengan tiba-tiba. Tidak lama setelah itu gempa susulan datang lagi dan tidak lama setelah itu orang-orang berteriak air laut naik. Orang-orang berlarian panik, lari tak tentu arah.

Kami diajak oleh tetangga menumpang kenderaannya, untuk segera pergi juga. Saat mobil melaju kami bisa melihat air yg begitu dahsyat datang menghancurkan apapun. Melihat rumah atau benda apapun terbawa mengikuti arus air.. tiba-tiba mobil yang kami tumpangi harus berhenti karena kemacetan yang luar biasa. Lalu kami semua turun berlarian. Saat itu saya dan asisten memegang satu anak per orang, lalu kami berlarian dan terpisah di kerumunan orang.

Tiba-tiba saya dan anak saya Putroe Sambinoe Meutuah, merasakan air bah itu menghatam kami, merasakan timbul tenggelam dan terbawa arus masuk ke garasi rumah orang.

Mendengar suara ‘blup-blup’ air yang masuk ke telinga kami, jadi terpikir seperti inilah yg dialami oleh orang-orang yang tenggelam.

Dalam kepanikan saya selalu berdoa agar bisa tenang, terus memegang tangan anak saya. Tiba-tiba kami mengapung kembali, lalu kami berpegangan di kayu-kayu atap garasi rumah tersebut. Kami bergantungan, anak saya yang masih kecil, saat itu berumur 7 tahun menggigil kedinginan, akhirnya dia tidak sanggup lagi, saya peluk dia dengan satu tangan, sambil terus meminta pertolongan, lalu saya juga hampir kehabisan tenaga dan menyilangkan kaki ke kayu2 diatas saya, bergantungan kaki diatas kepala dibawah sambil terus memeluk anak.

Alhamdulillah tiba-tiba bantuan datang disaat yang tepat, ada yg membuka atap seng dari atas dan menarik kami ke atas sehingga bisa duduk di atas atap.

Beberapa saat duduk disitu, saya melihat anak saya yang masih bayi digendong oleh yang menjaganya diatap yg lain, kira-kira 3 rumah berselang dari tempat kami, lalu kami merangkak pelan-pelan dari atap rumah yang satu ke rumah yang lainnya agar bisa ketempat anak saya yang bayi itu. Kalau sekarang disuruh seperti itu tentu saya tidak bisa melakukannya.

Akhirnya tiba juga ke tmpt bayi saya tersebut, lalu menggendongnya, dia menangis kehausan, terpikir bagaimana mau menyusuinya, badannya kotor dan berlumpur, tapi tiba-tiba  mukjizat datang, air mineral terbawa air pas didepan saya dalam kondisi masih tersegel. Lalu saya mengambilnya dan membersihkan bagian tubuh saya dan bisa menyusuinya..

Selama beberapa jam kami masih bertahan diatas atap, saat air mulai surut, kami pun turun perlahan, saya dengan kedua anak, sementara anak yg satu lagi tidak kami ketahui dimana, dalam hati masih selamatkah anak saya..

Kami turun, mencari-cari tapi tidak ketemu juga, malah tanpa diduga-duga dalam waktu yg tidak begitu lama saya bertemu dengan suami saya, kami menangis berangkulan lama sekali, saya sampaikan anak kita Rania tidak ada Pa, nngak tau selamat atau tidak.

Kami terus mencari-cari tapi tanpa diduga juga, dia dan yang menjaganya pulang dari arah yang berlawanan dengan kami dengan kondisi yang bersih tanpa kena air sedikitpun. Ternyata saat terpisah dia dibawa lari dan dinaiikan oleh orang dengan mobil pickup ke arah Gampong Pineung.

Alhamdulillah puji syukur kepada Allah, Allah begitu menyayangi kami. Beberapa hari kami tinggal di Banda Aceh, lalu keluarga dari Bireuen menjemput kami, suami yang tahanan tentu tidak boleh berlama-lama di Banda Aceh, berangkat ke Medan, Malaysia via Batam dan akhinya tinggal di Malaysia dan bolak-balik ke Swedia. Sampai alkhirnya perundingan perdamaian dan penandatangan MoU Helsinky.

Beberapa waktu setelah itu suami saya terpilih sebagai pimpinan di Aceh, siapa yang bisa memprediksi rahasia Allah ini, selalu ada hikmah disetiap cobaan yang Allah beri.

Cerita ini saya tulis saat ini dalam perjalanan silaturrahmi saya ke Bireuen, mengalir begitu saja, dimaklumi saja kalau ada bahasa yang tidak pas, karena saya bukannlah seorang penulis. Itu sebagian kecil perjalanan kehidupan saya yang penuh warna, pengalaman inilah yang membuat saya semakin kuat dalam menghadapi berbagai persoalan dalam hidup ini. Mudah-mudahan Allah selalu memberikan jalan terbaik bagi kami di masa depan. Amin. []

Ditulis oleh, Darwati A Gani

Related posts