Pemimpin perempuan juga disebut jadi ‘Pintu’ politik dinasti

Ilustrasi. (Harian Waspada)

Jakarta (KANALACEH.COM) – Pemimpin perempuan pada sebuah daerah disebut berpotensi menjadi pintu politik dinasti. Perempuan masih dianggap sebagai perpanjangan tangan kelompok tertentu dalam pemerintahan. 

“Politik dinasti dibuka oleh kompetisi politik yang makin terbuka. Ini bukan karena Pilkada langsung. Problem pokoknya sebetulnya bukan itu, tapi terjadi pemusatan sumber daya politik dan ekonomi di kelompok elite tertentu,” kata peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK Indonesia), Arif Susanto di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (3/1). 

Menurut Arif, perlu ada pembenahan dalam proses pemilihan perempuan-perempuan yang terjun di dunia politik. Dia menuturkan, perlu ada solusi yang ditempuh tidak hanya sebagai solusi politik tapi juga solusi pembangunan yang berkeadilan.

“Sebab jika tidak diputus, ini akan sulit. Kita tidak bisa melarang yang dari keluarga politisi menjadi calon kandidat,” ujar Arif. 

“Lalu kedua, persoalan representasi perempuan. Ini juga jadi persoalan, karena sebagian kelompok itu anggap representasi perempuan adalah persoalan jumlah. Padahal enggak,” sambungnya. 

Arif menyoroti kebijakan yang menambah porsi keterlibatan perempuan dalam berpolitik di DPR. Menurut dia, bukan jumlah yang penting tapi kapasitas perempuan tersebut dalam memainkan perannya. 

“Padahal, yang kini harusnya disorot adalah apakah laki-laki atau perempuan dia pro dengan agenda perempuan atau tidak. Sebab justru banyak pemimpin perempuan yang justru tidak pro dengan agenda perempuan. Atau gender ekuality,” urai Arif. 

Sehingga, kata Arif, keterpilihan perempuan akhirnya hanya terwujud karena ada dorongan dari faktor lainnya. Di antaranya faktor politik dinasti. 

“Misalnya penambahan 30 persen kuota buat perempuan itu ternyata justru diikuti penurunan jumlah perempuan terpilih dan celakanya sebagian dari perempuan itu terpilih lebih karena faktor patriarki apakah karena bapaknya Bupati atau suami Gubernur. Jadi mestinya agenda gender equaliti itu digeser. Bukan lagi fokus pada jumlah perempuan yang aktif di politik tapi tapi dialikhan ke laki-laki atau perempuam yang pro terhadap prempuan,” papar Arif. 

“Kalau tidak tragedi bu Sri Hartini (Klaten) ini terulang terus. Sebab, sebelumnya ada Kediri , istri muda lawan istri tua, lalu Bantul, istri Bupati terdahulu lawan Bupati sebelumnya. Berarti akan berulang terus. Ada kecenderungan untuk mencari atau ladang uang buat suaminya. Misal suami pengusaha. Istri ladang cari uang,” imbuh Arif. [Detik]

Related posts