Cabai mahal, warung makan kurangi sambal agar bisa bertahan

Cabai dan bawang merah (foto:sinarharapan.co)
Cabai dan bawang merah (foto:sinarharapan.co)

(KANALACEH.COM) – Tingginya harga cabai akibat cuaca buruk di berbagai daerah tidak hanya memaksa ibu rumah tangga merogoh kantong lebih dalam saat berbelanja kebutuhan rumah tangga.

Harga yang terus melambung juga merepotkan para pemilik warung makan kecil. Mereka harus menyiasati kenaikan harga agar warungnya bisa terus buka. Pembeli pun kerap protes. Eni, 38, baru saja melayani seorang pembeli saat mengeluhkan kenaikan harga berbagai jenis cabai dalam beberapa hari terakhir yang sudah menembus Rp100.000 per kilogram (kg).

Bagi pemilik warung makan kecil di tepi Jalan Kapten Sudibyo, Kota Tegal ini, kenaikan harga cabai sangat memberatkan. “Buat pedagang makanan seperti saya ya ada pengaruhnya. Memberatkan karena warung saya warung makan kecil,” tuturnya kemarin. Sejak harga cabai makin “pedas”, Eni terpaksa mengurangi jumlah pembelian cabai saat berbelanja ke Pasar Bandung Kimpling, pasar tradisional terdekat dari rumahnya. Biasanya, dia hanya mengeluarkan uang Rp5.000 per satu ons cabai rawit merah yang dibelinya.

Kini pengeluaran itu membengkak menjadi Rp10.000. “Sekarang dikurangi belinya. Waktu cabai masih murah, biasanya bisa beli sampai dua kilo. Sekarang hanya berapa ons saja. Walaupun harganya sudah memberatkan, mau tidak mau harus tetap beli karena pembeli yang makan pasti harus pakai sambel,” ungkapnya. Setiap hari Eni harus berbelanja cabai rawit merah dan cabai rawit hijau. Cabai rawit merah untuk dibuat sambal.

Sedangkan cabai rawit hijau untuk melengkapi gorengan tempe dan tahu yang juga dijual di warungnya. “Cabai rawit ijo juga mahal. Sekarang sekali beli sampai Rp7.000 satu ons. Biasanya hanya Rp4.000. Kadang kalau ada ya beli yang sudah sedikit patah-patah biar harganya lebih murah,” ujarnya. Dengan pengeluaran yang membengkak tersebut, Eni pun harus memutar otak lebih keras agar warungnya bisa tetap buka dan menghidupi keluarga.

Sebab jumlah pembeli di warungnya yang berlokasi tak jauh dari Kantor Samsat Kota Tegal tidak selalu ramai. “Kalau pas Samsat lagi ramai, baru pembeli ramai,” ungkapnya. Selain mengurangi jumlah cabai yang dibeli, Eni juga terpaksa mengurangi jumlah sambal yang dibuat. Terkadang sambal yang dibuat juga dicampur dengan tomat. Akibatnya, dia kerap diprotes oleh pembeli.

Setali tiga uang, Ina, 50, pemilik sebuah warung makan di tepi Jalan Raya Balapulang, Kabupaten Tegal juga mengeluhkan kenaikan harga cabai. Cabai sudah kebutuhan warung makan saya karena sudah satu paket sama menunya. Jadi harus beli walaupun harganya lagi mahal, ujarnya . Eni mengaku tidak mengurangi jumlah pembelian cabai. Sekali berbelanja, dia biasanya membeli berbagai jenis cabai sebanyak 2 kg.

“Paling banyak cabai rawit merah. Biasanya hanya Rp20.000 hingga Rp30.000 untuk beli cabai. Sekarang sampai Rp150.000,” katanya. Eni berharap harga cabai bisa segera turun. Sebab dia tidak bisa mengurangi sambal yang dibuatnya. Jika harga cabai terus merangkak naik, maka penghasilan warung Eni dipastikan akan ikut turun untuk menutup biaya membeli cabai yang membengkak. Otomatis pengeluaran untuk beli cabai nambah banyak.

Karena kalau mengurangi sambal yang dibuat tidak bisa. Seperti diketahui, harga sejumlah jenis cabai terus meroket karena pasokan yang berkurang di pasar. Di Pasar Pagi Kota Tegal cabai rawit merah harganya Rp100.000 per kg. Padahal normalnya harga cabai jenis ini Rp60.000 per kg. Sementara itu di Kota Semarang, harga cabai yang mencapai Rp100.000 per kilogram juga membuat kelimpungan pemilik warung makan.

Masak harga cabai saja sama harga daging, keluh Mbak Titin, pemilik warung makan di kawasan Stadion Citarum. Dia mengaku bingung karena harus menyediakan menu masakan pedas seperti mangut pedas. Akhirnya dia harus mengurangi takaran cabainya dan berdampak berkurangnya rasa pedas.

“Sempet juga dapat komplain dari pelanggan kok sayurnya tidak sepedas biasanya. Tapi mau bagaimana lagi, kalau takarannya sama, harga jualnya harus naik, tapi kalau harganya naik , pasti pelanggan juga komplain,” katanya. Frizki, pemilik warung penyetan di daerah Meteseh, mengaku sebagai warung penyetan mulai dari tempe penyet, lele goreng, hingga ayam goreng wajib menyediakan sambal. Untuk menyiasati kenaikan harga cabai, dia mengurangi porsi sambal yang disediakan. “Kalau tidak begitu kami bisa rugi, karena harga jualnya tetap sama,” ucapnya.

Tumiran, pemilik warung makan di Pendrikan Kidul, Semarang Tengah, juga merasakan hal sama. Dia mengaku dipusingkan dengan naiknya harga cabai yang tinggi. “Mudah- mudahan saja kenaikan harga ini tidak berlangsung lama. Kalau sampai lama kita bisa susah,” ucapnya. Di Demak, Muzayanah, 31, pemilik warung penyet di Desa Karangasem, Kecamatan Sayung, mengaku tetap menjaga cita rasa dengan tidak mengurangi komposisi dalam meracik sambal.

Meskipun risikonya pendapatan dari penjualan menurun. “Ada yang menambah jumlah tomat atau gula, tapi saya tetap seperti biasanya. Begitu juga harga satu porsi makan juga tidak naik,” ungkapnya. Hutomo, 41, pemilik warung penyet Lamongan di Jalan Pantura Sayung menambahkan, kenaikan harga cabai menjadi masalah karena warung makan penyet wajib menyediakan sambal. “Ibaratnya, kami itu menjual sambal,” ujarnya. Nur Hamidah, seorang pedagang di Pasar Bintoro, mengaku kenaikan harga cabai karena minumnya hasil panen yang dipengaruhi musim hujan. “Stok minim dan musim hujan membuat cabai mudah membusuk,” katanya. [Okezone]

Related posts