PMI temukan ratusan kantong darah terinfeksi hepatitis, sifilis dan HIV

Ilustrasi kantong darah.

(KANALACEH.COM) Sepanjang 2016 hingga minggu keempat Januari 2017, Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Bengkulu, Bengkulu menemukan 169 kantong darah yang tercemar atau terinfeksi, HIV/AIDS, Hepatitis B, Hepatitis C dan Sifilis.

Rinciannya, selama tahun 2016 didapatkan 149 kantong darah terinfeksi. Terdiri dari Hepatitis B sebanyak 48 kantong, hepatitis C sebanyak 52 kantong, sifilis sebanyak 47 kantong dan HIV 2 kantong darah. Kemudian, pada awal tahun 2017 ditemukan kantong darah tercemar yang tinggi.

Di mana pada minggu pertama 2017, ditemukan sebanyak 5 kantong darah yang terinnfeksi, yakni 2 dari 5 kantong darah tersebut HIV. Selebihnya, 1 kantong hepatitis C, 1 kantong hepatitis B dan 1 kantong sifilis. Sementara hingga minggu keempat atau hingga hari Sabtu 28 Januari 2017, total kantong darah tercemar sudah mencapai 20 kantong darah.

”Pemeriksaan HIV, hepatitis B, hepatitis C dan sifilis merupakan prosedur wajib yang dilakukan di PMI terhadap semua kantong darah yang diterima dari pendonor,” kata Kepala Unit Transfusi Darah (UTD) PMI Kota Bengkulu, Minggu (29/1).

Hampir dari semua pendonor yang mengandung virus dan bakteri HIV, Hepatitis B, C, serta Sifilis, terang Annelin, tidak menunjukkan gejala penyakit. Sebab, para pendonor tersebut merasa sehat-sehat dan tidak mengetahui, bahwa didalam darahnya terdapat penyakit.

”Penemuan kantong darah yang terinfeksi HIV dan infeksi lainnya itu rutin didapatkan oleh PMI dari kegiatan pemeriksaan,” sambung Annelin.

Ia menyebut, pemeriksaan HIV yang dijalankan di UTD PMI menggunakan metode sederhana, yaitu rapid test. Sehingga, terang dia, penggunaan rapid test disinyalir masih bisa meloloskan kantong HIV, hepatitis B, hepatitis C dan Sifilis, karena metode yang digunakan tersebut belum sesuai dengan rekomendasi WHO. Yakni, metode ELISA yang lebih sensitif, canggih dan computerized.

”Cita-cita menuju pelayanan darah yang aman, berkualitas dan mudah dijangkau sulit diwujudkan dengan keterbatasan sumber daya tersebut,” imbuhnya.

Di sisi lain, tambah dia, di Bengkulu saat ini pemeriksaan dan pelayanan darah masih dikenakan biaya cukup besar. Dimana diluar RSUD M Yunus Bengkulu, masyarakat yang ingin memeriksakan darah mesti mengeluarkan biaya sebesar Rp250 ribu, dan Rp150 ribu untuk pemeriksaan di RSUD M Yunus.

Dampaknya, sampai dia, pemeriksaan dan pelayanan darah tersebut menjadi tidak optimal. Dengan biaya pengganti pengolahan darah yang berlaku di Bengkulu saat ini, ditambah minusnya bantuan, sulit UTD PMI untuk mengembangkan kemampuan tersebut.

”Hal ini mesti ada kebijakan pemerintah, dengan menaikkan biaya pengganti pengolahan darah, sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat yang mudah dijangkau,” beber Annelin.

Pendonor Terinfeksi HIV, Dicekal untuk Donor Darah

Pendonor yang diketahui reaktif HIV, sampai Annelin, dari UTD PMI bekerjasama dengan klinik Volunteer Conseling Test (VCT) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) M Yunus Bengkulu, akan menindaklanjuti penemuan kasus tersebut, dengan pemeriksaan ulang sampai dengan pengobatan. Sementara untuk pendonor yang terinfeksi hepatitis B, hepatitis C dan sifilis, terang dia, dilakukan pemberitahuan via telepon atau surat, kemudian dirujuk ke Spesialis penyakit dalam.

”Semua pendonor yang positif terinfeksi, dicekal untuk donor darah. Kecuali bisa menunjukkan hasil pemeriksaan negatif dikemudian hari,” tegas Annelin.

Sistem pencekalan donor reaktif, jelas Annelin, melalui sistem informasi donor darah (SIMDONDAR), yang mana berlaku secara nasional. Sebab dengan menerapkan SIMDONDAR, tegas dia, pendonor reaktif yang pernah ketahuan positif dari provinsi di Indonesia, saat ingin berkunjung ke Bengkulu provinsi lainnya dan berniat donor darah, akan langsung ditolak oleh warning system yang sudah dibangun oleh PMI Pusat.

”Itu diketahui melalui kartu atau nomor ID pendonor yang terinfeksi,” ujar Annelin.

Meskipun demikian, sambung Annelin, penemuan kantong darah tercemar HIV tersebut tidak perlu dicemaskan oleh masyarakat. Sebab, terang dia, begitu diketahui tercemar, kantong darah tersebut tidak akan diberikan kepada pasien.

”Kantong darah terinfeksi itu pasti dimusnahkan. Pemusnahan kantong darah tercemar ini dilakukan melalui kerjasama PMI dengan pihak ketiga pengelola limbah medis,” tegas Annelin.

Langkah PMI Cegah Pendonor yang Terinfeksi HIV

Lantas bagaimana mencegah pendonor yang ‘berpenyakit’ melakukan donor darah?. Annelin menjelaskan, dari PMI Kota Bengkulu melakukan beberapa langkah. Seperti, mewawancara dan memeriksaan singkat pra donor, yang mana sebelumnya calon pendonor diminta mengisi daftar pertanyaan.

Adapun contoh pertanyaan yang harus diisi calon pendonor, sampai dia, apakah anda pernah melakukan hubungan seksual berganti-ganti? lalu. apakah anda pernah memiliki pasangan seksual orang dengan HIV/AIDS? kemudian, apakah anda pernah menggunakan narkoba suntik? dan apakah anda pernah tertusuk jarum medis, serta pertanyaan lainnya.

”Pertanyaan yang ada dalam lembar isian tersebut menyangkut perilaku dan gaya hidup pendonor. Calon pendonor diminta mengisi dengan jujur,” jelas Annelin.

Selanjutnya, sampai Annelin, petugas akan meneliti jawaban calon pendonor dan menanyakan beberapa pertanyaan konfirmasi. Jika tidak ditemukan kecurigaan gaya hidup menjurus penyakit, terang dia, maka calon pendonor diminta menandatangani pernyataan, yang isinya kesediaan diambil darah sebanyak 350 cc dan diperiksakan HIV, hepatitis B, hepatitis C dan sifilis terhadap kantong darah yang sudah diterima.

”Dari langkah itu, kita berharap bagi calon pendonor yang merasa dirinya ada penyakit, sudah mengundurkan diri dari niat untuk berdonor,” sampai Annelin.

Annelin menjelaskan, ada tiga kategori donor. Yakni, donor sukarela, donor pengganti dan donor bayaran. Donor sukarela adalah mereka yang mendonorkan darahnya secara sukarela dengan kesadaran sendiri mendatangi unit transfusi darah, karena niat membantu sesama dan mendapat manfaat kesehatan.

Sementara donor pengganti merupakan donor yang berasal dari keluarga, kerabat, rekan atau mereka yang dipanggil/dibroadcast, untuk mendonor darah. Untuk donor bayaran, jelas dia, merupakan mereka yang mendonor darah untuk mengharapkan imbalan uang atau lainnya dari pihak yang dibantu.

Dari ketiga jenis donor ini, jelas Annelin, donor bayaran merupakan kelompok paling berisiko tinggi mengandung HIV dan lain-lain. sebab, kata dia, motif kebutuhan imbalan yang mereka harapkan menyebabkan mereka tidak jujur mengisi lembar pertanyaan yang diberikan petugas.

Berdasarkan penelitian, jelas Annelin, donor pengganti bukan kelompok aman, karena situasi yang mendesak terjadi pada orang dekat. Sehingga membuat calon pendonor cenderung menutupi prilaku berisikonya lantaran karena khawatir tidak bisa memberikan darah untuk orang terdekatnya.

”Karena takut tidak jadi diambil darahnya dan tidak jadi mendapat imbalan, makanya saat mengisi lembar pertanyaan tidak diisi dengan jujur,” ungkap Annelin.

Donor yang paling ideal, sampai Annelin, adalah donor sukarela, karena mereka tidak memiliki motif apa-apa saat berdonor. Sehingga ketika menyadari prilakunya berisiko pendonor biasanya mengundurkan diri dari berdonor.

”Jadi, meningkatkan kesadaran masyarakat untuk donor sukarela teratur, merupakan langkah dan upaya efektif guna mencegah terjadinya kantong darah tercemar penyakit. Namun, pada kenyataannya kebanyakan donor darah dilakukan jika ada keluarga yang membutuhkan atau hanya disaat event donor darah,” tandas Annelin. [Okezone]

 

Related posts