JKN vs mutu pelayanan rumah sakit

JKN vs mutu pelayanan rumah sakit
Ilustrasi - BPJS Kesehatan. (Liputan6)

Oleh: Joni Saputra

KESEHATAN merupakan kunci dari sebuah kehidupan, semakin sehat seseorang maka kualitas hidup seseorang semakin baik. Namun sebaliknya, jika kesehatan seseorang terganggu, maka kemungkinan kualitas hidup seseorang menjadi tidak baik.

Teori Hendrik L Blum mengatakan bahwa status kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh 4 aspek pokok, yaitu: a) Lingkungan; b) Perilaku; c) Fasilitas Pelayanan Kesehatan; d) Keturunan. Keempat aspek tersebut mempunyai peranan penting dalam rangka menjaga status kesehatan masyarakat. Fokus pembahasan tulisan ini pada fasilitas pelayanan kesehatan.

Kemampuan masyarakat dalam menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan sangat tergantung dari kemampuan finansialnya. Mahalnya biaya untuk mengakses pelayanan kesehatan membuat sebagian masyarakat tidak bisa mengakses pelayanan tersebut.

Indonesia pada tahun 2015 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa persentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 11,22%. Angka tersebut bukanlah angka yang kecil mengingat penduduk Indonesia saat ini mencapai 255,2 juta jiwa (SUPAS, 2015). Hal tersebut berarti 28,8 juta jiwa penduduk Indonesia merupakan penduduk miskin.

Menyikapi hal tersebut, sesuai dengan amanat UUD 1945 bahwa Negara bertanggung jawab untuk menyejahterakan rakyatnya termasuk dalam bidang kesehatan. Pemerintah meluncurkan sebuah terobosan dengan membentuk sebuah badan penyelengggaraan jaminan sosial yang bertanggungjawab dalam mengelola asuransi kesehatan yang diberi nama JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) terhitung sejak 1 januari 2014.

Sebelum era JKN, pemerintah juga memiliki beberapa asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin, salah satunya Jamkesmas. Perbedaan antara asuransi tersebut terletak pada sistem pembiayaannya, dimana era jamkesmas pembiayaan kesehatan dilakukan menggunakan metode fee for service, sedangkan pada era JKN pembiayaan dilakukan dengan metode Case Mix yang telah disusun oleh para ahli dan di Indonesia dinamakan sebagai INA-CBGs.

Perbedaan metode pembiayaan tersebut merupakan sebuah masalah yang paling diperhatikan oleh setiap manajemen rumah sakit. Pada era Fee For service, setiap tindakan yang dilakukan di rumah sakit bisa mendapatkan klaim. Namun tidak demikian dengan Case Mix, dimana pembayaran klaim dilakukan berdasarkan tarif INA-CBGs, yaitu pembayaran dilakukan perpaket berdasarkan diagnosa yang diderita oleh pasien.

Metode case mix mengharuskan pihak rumah sakit untuk melakukan tindakan yang seefektif mungkin dalam menunjang kesembuhan pasien. Hal tersebut dikarenakan pihak manajemen berusaha untuk menekan biaya operasional sehingga pengeluaran rumah sakit bisa diimbangi oleh pendapatan.

Berubahnya peraturan, maka berubah pula syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Sebagian rumah sakit di Indonesia mengakui rumitnya proses pengklaiman dana jasa layanan dari BPJS. Bahkan, sebagian rumah sakit telah resmi memutuskan kerjasama dengan BPJS Kesehatan.

Data yang diperoleh dari salah satu rumah sakit di Aceh menjelaskan bahwa tidak semua pasien yang di klaim pelayanannya disetujui oleh BPJS. Berbagai macam alasan yang mendasari BPJS untuk tidak menerima klaim tersebut, mulai dari ketidak sesuaian diagnosa dan tindakan yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan ketetapan INA-CBGs, persyaratan, dan lain-lain.

Data dari salah satu rumah sakit di Aceh menunjukkan bahwa hanya sebesar 95% dari klaim yang diajukan disetujui oleh BPJS. Bahkan jika dibandingkan dengan tarif rumah sakit tersebut, dana jasa layanan dari BPJS kesehatan hanya membayar rumah sakit sebesar 65%. Pertanyaannya adalah bagaimana kualitas mutu pelayanan bisa terjamin jika dana terbatas?

Sejak berlakunya JKN, kualitas mutu pelayan dipertaruhkan. Rumah Sakit sangat gencar dalam melakukan efisiensi. Efisiensi dilakukan dengan berbagai macam cara, mulai dari usaha mempersingkat waktu perawatan, mengurangi resep obat, mengurangi pemeriksaan penunjang dan lain-lain. Menjamin mutu dan kualitas pelayanan yang baik bukanlah perkara yang mudah, selain dana yang terbatas, perilaku petugas pelayanan menjadi hal paling penting untuk di perhatikan.

Strategi untuk mensiasati hal tersebut dengan menginterfensi petugas kesehatan untuk mengaplikasikan pelayanan kesehatan semaksimal mungkin. Mulai dari pelayanan yang baik dengan melakukan pendekatan secara holistik pada pasien, diagnosa yang tepat, kenyamanan pasien berobat dan lainnya, sehingga kepastian layanan menjadi lebih baik dan diharapkan dengan begitu proses kesembuhan pasien menjadi lebih cepat.

Untuk memastikan hal tersebut berjalan dengan baik, pihak manajemen perlu melakukan evaluasi dan monitoring secara terus menerus dan dilakukan sesering mungkin terhadap kinerja petugas pelayanan kesehatan. Proses tersebut bisa di adopsi dari konsep Deming Cycle. Metode ini sangatlah cocok untuk dipergunakan untuk skala kecil, kegiatan continues improvement untuk memperpendek siklus kerja.

Metode ini fokus pada siklus kecil sehingga pemantauan terhadap proses pelayanan kepada pasien menjadi lebih baik. Peran kepala ruangan sangat penting sebagai tangan kanan dari manajemen rumah sakit.

Terakhir, walau sistem telah berubah masyarakat hanya punya satu keinginan, yaitu mendapatkan pelayanan yang baik dengan mendapat kepastian layanan sehingga diharapkan proses penyembuhan penyakit menjadi lebih cepat.

*Penulis merupakan Mahasiswa S2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Aceh

Related posts