Menkeu izinkan KPK kaji dugaan korupsi dana sawit

Menkeu lapor gaji baru PNS ke Presiden, bocoran kenaikannya?
Dokumentasi - Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengisi kuliah umum bertemakan Peran Fiskal Dalam Membangun Perekonomian Insklusif di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Kamis (5/1). (Kanal Aceh/Aidil Saputra).

Jakarta (KANALACEH.COM) – Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menilai dugaan praktik korupsi dalam pengelolaan dan penggunaan dana pungutan industri sawit yang dihimpun oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) dan beberapa pelaku besar industri sawit yang diendus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan hal yang sah-sah saja.

“Kalau menurut saya, kalau KPK punya temuan ya silahkan saja. Kalau itu (transparansi laporan dana sawit), tanyakan saja ke BPDP-KS,” ujar Sri Mulyani di Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian, Selasa (2/5).

Kendati demikian, Sri Mulyani mengaku sangat mendukung bila KPK mampu merampungkan kajiannya dan membuat transparansi penghimpunan, pengelolaan, dan penggunaan dana pungutan sawit yang dikelola BPDP-KS terwujud.

Sementara dari sisi Kementerian Keuangan, Sri Mulyani menegaskan bahwa dirinya juga akan ikut mengawasi dan menegakkan tonggak keadilan penggunaan dana pungutan sawit tersebut.

“Adil itu berarti tidak boleh ada perusahaan yang sangat kaya raya sementara petani tidak mendapat bagiannya atau justru semua risiko langsung kena ke petani,” kata Sri Mulyani.

Pasalnya, menurut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, industri sawit merupakan industri yang memiliki potensi dan sumbangan besar terhadap negara, sekaligus menjadi tempat bersandarnya para petani, pelaku usaha hingga masyarakat luas sehingga harus adil ke semua pihak dan berkelanjutan.

“Sehingga saat harga bagus, mereka bisa mendapatkan keuntungan dan ketika harga rendah, tetap dijaga (pendapatannya),” imbuh Sri Mulyani.

Tak hanya itu, sebagai institusi pengumpul pajak, Sri Mulyani memastikan bahwa dirinya juga tak akan lengah memantau kepatuhan dan besaran pajak yang harus dibayar industri kepada pemerintah.

“Kami juga harus mendapatkan penerimaan dari sisi perpajakan yang cukup baik. Praktik transfer pricing kepada current company atau perusahaan yang berada di luar, itu harus dicegah dan kita akan terus melakukan penelitian sehingga setiap hak dari masyarakat Republik Indonesia untuk bisa mendapatkan penerimaan pajak yang adil, seharusnya bisa diperoleh,” tegasnya.

Senada dengan Sri Mulyani, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian, Musdalifah mengatakan, kementeriannya juga terus mengawasi pengelolaan dan penggunaan dana pungutan sawit yang dikelola oleh BPDP-KS.

Namun begitu, Musdalifah membantah dugaan praktik korupsi penggunaan dana sawit di tubuh BPDP-KS bersama dengan beberapa pelaku besar di industri sawit yang diendus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Musdalifah menjelaskan, pemerintah saat itu sengaja membentuk BPDP-KS untuk menyelamatkan harga tandan buah segar (TBS) sawit yang jatuh pada 2015 silam. Dengan pembentukan BPDP-KS, pemerintah berusaha mengerek harga TBS sawit di tingkat petani dan industri yang terpuruk dikisaran US$300 per ton.

Bersamaan dengan itu, pemerintah melalui BPDP-KS menghimpun dana sekitar US$50 per ton minyak sawit dari industri untuk dialokasikan ke program campuran biodiesel 20 persen (B20) sehingga menambah roda industri hilir dan meningkatkan nilai tambah produk sawit Indonesia.

Sayangnya, pelaku industri yang telah memiliki fasilitas pengolahan B20 masih terbatas, yakni hanya bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar saja sehingga mau tidak mau, pemberian dana pungutan BPDP-KS tersebut mengalir ke pelaku-pelaku tersebut.

“Dugaan korupsi bagaimana sih? Orang kami harus jual biodiesel. Nah, yang punya (industri) biodiesel siapa? Yang punya industri baru mereka, jadi diberikanlah ke mereka,” terang Musdalifah saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.

Sebelumnya, KPK menduga ada praktik korupsi penggunaan dana pungutan sawit yang dikelola BPDP-KS, yang terlihat dari pemberian subsidi hanya kepada tiga grup perusahaan perkebunan besar.

“Parahnya, subsidi ini salah sasaran dengan tiga grup usaha perkebunan mendapatkan 81,7 persen dari Rp3,25 triliun alokasi dana,” kata Juru Bicara (Jubir) KPK Febri Diansyah pada pekan lalu.

Selain hanya didominasi untuk tiga grup perusahaan tersebut, dana seharusnya digunakan untuk penanaman kembali (replanting), peningkatan sumber daya manusia (SDM), peningkatan sarana dan prasarana, promosi, dan advokasi serta riset. [CNNIndonesia.com]

Related posts