Perppu Ormas dianggap lemah secara substansi dan proses penerbitannya

Perppu Ormas dianggap lemah secara substansi dan proses penerbitannya
Ilustrasi - Aksi demo RUU Ormas. (Okezone)

Jakarta (KANALACEH.COM) – Penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Oganisasi Kemasyarakatan (Ormas) oleh pemerintah dianggap masih lemah, baik secara substansi maupun lemah dalam proses penerbitan Perppu tersebut.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menganggap dari segi prosedural, penerbitan Perppu Ormas tidak memenuhi tiga prasyarat kondisi yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan No. 38/PUU-VII/2009.

Tiga prasyarat itu, yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU, adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembuatan UU.

“Ketiga prasyarat itu tidak terpenuhi karena tidak adanya situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap ormas. UU Ormas dengan jelas telah mengatur mekanisme penjatuhan sanksi, termasuk pembubaran terhadap ormas yang asas maupun kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,” jelas peneliti dari PSHK, Miko Susanto Ginting, Minggu (16/7).

Dari segi susbtansial, menurut Miko Perppu Ormas telah menghilangkan bagian penting dari jaminan kebebasan berserikat di Indonesia, yaitu proses pembubaran organisasi melalui pengadilan. Pasal 61 Perppu Ormas memungkinkan pemerintah secara sepihak mencabut status badan hukum ormas tanpa didahului proses pemeriksaan di pengadilan.

“Padahal, proses itu penting untuk menjamin prinsip due process of law yang memberikan ruang kepada ormas untuk membela diri dan memberikan kesempatan bagi hakim untuk mendengar argumentasi para pihak berperkara secara adil,” ujar Miko.

“Mekanisme ini juga mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pemerintah dalam membubarkan ormas. Perppu Ormas telah menempatkan posisi negara kembali berhadap-hadapan dengan organisasi masyarakat sipil, sama seperti yang terjadi pada masa Orde Baru,” imbuhnya.

Miko menambahkan ketentuan dalam Perppu Ormas memungkinkan penjatuhan sanksi pidana terhadap setiap orang yang menjadi pengurus atau anggota ormas apabila ormasnya melakukan pelanggaran.

Ketentuan itu sangat menimbulkan masalah karena memungkinkan negara untuk menghukum orang bukan karena tindakan pidana yang dilakukan, melainkan karena status keanggotaan di dalam sebuah ormas. Situasi itu, tegas Miko tentu berpotensi melanggar kebebasan berserikat warga negara yang telah dijamin oleh konstitusi.

“Semangat untuk menjaga falsafah Pancasila dan UUD 1945 haruslah didukung oleh seluruh elemen masyarakat. Namun, pengaturan penjatuhan sanksi terhadap ormas dan adanya pemidanaan yang tidak proposional akan membangkitkan sifat represif negara,” papar Miko.

PSHK meminta DPR untuk menolak Perppu ini untuk menghindari situasi yang bertolakbelakang terhadap perkembangan demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Selain mendorong DPR, PSHK juga meminta masyarakat untuk mengajukan uji materi (judicial review) ke MK.

“Tanpa perlu menunggu proses pembahasan Perppu Ormas di DPR, upaya kalangan masyarakat sipil untuk mengajukan permohonan pengujian Perppu Ormas ke Mahkamah Konstitusi juga harus terus didorong,” simpulnya. [Okezone]

Related posts