Pencabutan dua pasal UUPA dalam UU Pemilu memangkas kekhususan Aceh

dr Pur: KPU saja berani, kenapa KIP di Aceh tidak
Ilustrasi UUPA. (Ist)

Jakarta (KANALACEH.COM) – Dua anggota DPRA dari Partai Nanggroe Aceh (PNA) Samsul Bahri Bin Amiren alias Tiong dan Kautsar dari Partai Aceh (PA) resmi mengajukan judicial review terhadap pencabutan pasal 57 dan Pasal 60 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (22/8).

Kuasa hukum dari Tiong dan Kautsar, Kamaruddin mengatakan permohonan judicial review oleh dua politisi yang punya latar belakang perjuangan ini bertujuan untuk mempertahankan kekhususan Aceh.

“Sebagai mantan kombatan GAM dan aktifis perjuangan, Pak Samsul Bahri (Tiong) dan Kautsar merasa punya tanggung jawab moril untuk menjaga capaian-capaian politik Aceh,” ujarnya dalam siaran pers kepada Kanalaceh.com.

Dikatakannya, dengan dicabutnya Pasal 57 dan Pasal 60 UUPA melalui Undang-Undang Pemilu disahkan DPR RI, dua politisi ini menilai Pemerintah Pusat mulai memangkas kekhususan Aceh.

Di dalam Pasal 571 huruf D disebutkan bahwa Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Keseluruhan Pasal yang disebutkan didalam Pasal 571 huruf D itu berkaitan erat dengan penyelenggara pemilu di Aceh yakni Komisi Independen Pemilihan Aceh (KIP Aceh) dan Panwaslih Aceh, yang menurut pembentuk harus dicabut dan disesuaikan dengan UU Pemilu.

“Padahal pembentuk UU di sini sepertinya keliru memahami asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar sehingga bisa terjadi penggerusan terhadap pasal-pasal yang menjadi domain dari kekhususan Aceh.
Terlebih yang dipersoalkan dan dicabut itu terkait dengan jumlah komposisi komisioner KIP Aceh dan masa kerja anggota KIP Aceh dan Panwaslih Aceh, dan itu tidaklah terlalu esensial dari penyelenggaraan pemilu di Aceh,” tambah Kamaruddin.

Didalam UUPA itu, sambung Kamaruddin, sudah sangat jelas mengatur bahwa terkait dengan kekhususan Aceh itu DPR seharusnya berkonsultasi dan meminta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terlebih dahulu sebelum kemudian merumuskan peraturan yang berkaitan dengan Aceh kedalam suatu Rancangan Undang-Undang.

Disebutkannya, dalam Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 269 UUPA sudah mengatur tentang konsultasi untuk mendapatkan pertimbangan DPRA terhadap Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan Provinsi Aceh.

“Sehingga DPR seharusnya tidak asal main cabut dan menyatakan tidak berlaku seperti itu. Ada mekanisme konstitusional yang seharusnya dipahami oleh para pembentuk undang-undang, bahwa Aceh itu adalah daerah yang bersifat istimewa dan khusus, dan negara harus menghormatinya, karena itu amanat konstitusi didalam Pasal 18 A ayat (1) dan Pasal 18 B ayat (1),” jelas Kamaruddin.

Jadi, jelasnya, seharusnya pembentuk undang-undang bisa menyesuaikan terlebih dahulu dan mengkonsultasikan dengan Pemerintah Aceh dan DPRA.

Sementara kuasa hukum lainnya, Maulana Ridha mengatakan kejelian pembentuk undang-undang harus diuji, sebelum undang-undang itu disetujui melalui sidang paripurna.

Dikatakan Maulana, jauh sebelum itu bisa dilakukan “legislative review” oleh pembentuk undang-undang untuk mengevaluasi rancangan undang-undang terlebih dahulu.

“Apakah undang-undang ini telah memiliki sinkronisasi dan harmonisasi yang baik atau tidak, dan bagaimana aspek filosofis dan historis pembentukan undang-undangnya, sudah sesuai apa belum, jadi jangan asal cabut-cabut saja,” tegas Maulana. [Aidil Saputra]

Related posts