Opini: Perlunya pengawasan dana desa

Opini: Perlunya pengawasan dana desa
Hasyemi Faqihudin. (Dok pribadi)

Oleh: Hasyemi Faqihudin

DESA adalah sebuah wilayah kecil dari pembagian jumlah kependudukan dan batasan teritorial yang telah terbagi secara kualifikasi wilayah dalam pembagian di setiap kecamatan. Menurut ahli dari berbagai sumber, kata “desa” berasal dari bahasa sangsekerta yakni “dhesi” yang artinya tanah kelahiran atau tempat dilahirkan.

Istilah dhesi telah digunakan sejak tahun 1114 M yang ketika itu di Indonesia hanya terdiri beberapa kerajaan saja.

Interaksi sosial dan budaya masyarakat desa pun tak lekang oleh waktu dan zaman. Kerifan lokal dan menjunjung tinggi nilai adat menjadi tanggung jawab dalam setiap aspek aktivitas sosial, bahkan sampai saat ini pun masih terasa hangat dirasakan.

Bahkan para ahli berpendapat bahwa desa adalah suatu wilayah yang mempunyai tingkat kepadatan rendah yang dihuni oleh penduduk dengan interaksi sosial yang bersifat homogen, bermatapencaharian di bidang agraris serta mampu berinteraksi dengan wilayah lain di sekitarnya.

Maka penulis berharap adapun tanggung jawab bangsa dan negara dalam tata kelola desa yang semestinya harus dapat memiliki rasa menjaga dalam kecintaan terhadap perkembangan desa yang menjadi urat nadi negara dalam setiap aktivitas kesejahteraan sosial masyarakat.

Dalam essensi rasa memiliki tanggung jawab terhadap perkembangan desa dalam aktivitas sosial dapat diartikan berupa instrumen untuk dapat turut serta dalam pembangunan dan pemberdayaan, sehingga rasa memiliki akan wujud dalam diri kita untuk peduli akan tanah kelahiran.

Misalnya, seorang pengusaha sukses di kota besar yang dulu semasa belajar dan merintis sewaktu muda berjualan kue pukis keliling di kampung halamannya, ketika pulang kampung akan berupaya memberikan kontribusi turut serta dalam pemberdayaan masyarakat desa.

Maka upaya tersebut pun akan dinanti-nanti masyarakat desa pada umumnya. Akan tetapi nyatanya masih sedikit langkah tersebut apabila kita lirik dengan seksama.

Terlepas dari hal tersebut, pemerintah pusat hingga daerah pun telah berupaya membuat kebijakan dalam bentuk regulasi agar masyarakat desa dapat menikmati kesejahteraan. Kestabilan sosial, ekonomi hingga budaya di tingkat desa akan sangat berpengaruh di tingkat nasional.

Dikatakan bahwa desa sebagai urat nadi dari negara. Apabila kerentanan sosial, ekonomi dan lain sebagainya terjadi ditingkat desa maka akan sangat berpengaruh besar dalam tatanan nasional.

Rumusan ini sangat nyata dirasakan apabila diperhatikan secara eksplisit polemik yang terjadi saat ini.

Misalnya terjadinya urbanisasi besar-besaran sehingga berdampak pada putaran ekonomi yang tidak stabil. Selain itu, menurut pengamat mengatakan mulai dari kemacetan, tata kota yang semrawut, kepadatan penduduk, hingga tingkat kriminalitas yang tinggi.

Disparitas pertumbuhan ekonomi antara desa dan kota sangat besar, hal itu dari dampak akibat kestabilan dan tatakelola desa yang kurang baik dan tidak merata. Maka dalam hal ini, penulis merisaukan bagaimana peran mahasiswa dan pemuda dalam menghadapi atas isu tersebut?

Seluruh elemen masyarakat kini sedang menyoroti penegasan dalam regulasi yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Namun pada konteks realisasi dalam penerapan masih jauh dalam kenyaatan.

Tidak sedikit para aktivis hingga pengamat mengomentari atas hal tersebut. Disebabkan semenjak terbitnya UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan juga dipertajam dengan PP No 60/2015 tetapi masalah krusial terus dihadapkan masyarakat desa.

Misalnya, dalam rilis ICW (Indonesian Corruption Watch) Berdasarkan catatannya dari 2016 hingga pertengahan 2017, terdapat 110 korupsi anggaran desa yang telah diproses oleh penegak hukum dan diduga melibatkan 139 pelaku.

Sehingga ICW dapat menyimpulkan bahwa jumlah kerugian negara yang ditimbulkan bisa mencapai sedikitnya Rp 30 miliar.

Dalam polemik tersebut penulis dapat memberikan pandangan: (1) Hilangnya rasa memiliki kecintaan terhadap desa dan tanah kelahiran, (2) Korupsi akan terus ada, dikarenakan ekonomi di tingkat desa tidak stabil, (3) Kurangnya pengawasan dari Kementerian Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, (4) Perlunya dibentuk KPK (khusus desa), dan (5) Peran mahasiswa dan pemuda sebagai tim khusus pendampingan KPK (Khusus Satgas Desa) agar sekalian belajar dalam pemberantasan korupsi.

Jika diuraikan pandangan penulis dari kelima poin tersebut dilihat dari penyebab, akibat, indikator, langkah gerak dan penajaman.

Sebab saat ini pembedahan yang sudah terjadi hanya terjadi genangan pada lembaga saja, namun langkah terobosan secara darurat tak pernah terjadi. Dalam peninjauan kembali menurut ahli dalam UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa pun memiliki hak asal-usul sebagai self governing community ataupun self local government melalui penerapan asas rekognisi dan subsidiaritas.

Saat ini pun pendamping desa dirasa kurang efektif dalam peranisasi yang semestinya. Maka hal tersebut perlu dibedah secara akurat demi kemaslahatan masyarakat desa. Perlu adanya diketahui bahwa pengeluaran terbesar negara saat ini terdapat pada pengalokasian Dana Desa. Padahal ini bertujuan agar pemerataan pembangunan dan pengembangan pemberdayaan akan terjadi perubahan dengan dialokasikannya anggaran yang bombastis dan perhatiannya untuk ditingkat desa.

Tercatat Pemerintah Pusat sudah mengucurkan dana desa sebanyak Rp 127,74 triliun sejak pertama kali digelontorkan pada 2015.

Desa yang sudah menerima dana tersebut 74.910 dengan rincian pada 2015 sebesar Rp 20,76 triliun, 2016 Rp 49,98 dan 2017 Rp 60 triliun.

Hemat penulis, Presiden Jokowi jangan hanya pidato agar pengunaan dan desa harus berhati hati dimanfaatkan, namun harusnya memberikan keseimbangan dalam konteks mempertajam pengawasan agar pengalokasian anggaran teapt pada sasaran.

Peneliti Pusat Kajian Anti korupsi (Pukat) UGM, Hifdzil Alim, mengatakan, kewenangan desa untuk mengelola dana Rp 1 miliar dinilai membuat perangkat desa gagap. Sebab, sejauh ini belum banyak desa yang memiliki rekam jejak dalam mengelola dana dengan jumlah yang besar.

Besarnya kucuran dana desa membuat KPK punya tugas besar mengawasinya. Semakin besar dananya, semakin besar pula kemungkinan penyalahgunaannya.

Maka hal ini perlu menjadi bahan peninjaun kembali agar KPK (Khusus Satgas Desa) agar segera dibentuk untuk memblokade terjadinya hal yang tidak diinginkan yang bila disimpulkan akan terjadi korupsi berjama’ah dan menjadi korupsi paling dahsyat bila di seluruh desa diperhitungkan total yang telah dikorupsi kepala desa.

Saat ini pun publik sangat menyayangkan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terbatas sehingga tidak bisa menyentuh kepala desa, sehingga memposisikan pejabat kepala desa sebagai aktor terbanyak korupsi anggaran desa.

Maka Presiden Jokowi segera membuktikan wujud dari nawa cita yang essensinya mensejahterakan masyarakat.

Bahkan secara gamblang Pasal 26 ayat (4) UU Desa menyebutkan, Kades berkewajiban melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Uraian dalam Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 6 huruf C, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tipikor yang melibatkan aparat penegak hukum, peyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tipikor yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.

Menurut pengamat hukum Kades tidak masuk dalam kriteria KPK. Maka ini sangat disayangkan, akan terjadinya kerentanan sosial yang dihadapi masyarakat desa pada umumnya. Sebab kembali lagi pada sinkronisasi antara maju mundurnya suatu desa akan berdampak pada stabilitas nasional.

Penulis akan jauh lebih baik mengkritisi KPK dalam perspektif skala lebih luas dikarenakan pada suatu pertemuan KPK pada rilisan informasi dari berbagai media bahwa pimpinan KPK hanya saja memberikan wejangan normatif pada para kepala desa agar dalam penggunaan dana desa tidak disalahgunakan.

Alangkah baiknya KPK juga dalam pertemuan tersebut dapat memberikan terobosan kesepakatan MoU untuk membuat komitmmen bersama bahwa kejahatan korupsi ditingkat desa harus diblokade dikarenakan kurang perhatiannya kejahatan korupsi ditingkat desa sama halnya membiarkan akar negara semakin bobrok.

Membuat wajah desa yang sejahtera tentu bukan hal yang mudah dan bukan berarti juga tidak bisa diperbaiki. Maka peran mahasiswa dan pemuda yang menjadi ujung tombak dibutuhkan peranisasi secara optimal dan massif.

Ketika gerakan mahasiswa ataupun pemuda hanya saja tergiur akan isu daerah (kabupaten/kota/provinsi) dan nasional yang bargaining nya lebih jelas, maka hal ini yang sangat dikhawatirkan.

Secara subtansi aktivis sejati akan menaruh hati tanpa ada batasan waktu dan tempat, meskipun status jenjang pendidikan tinggi yang ditorehnya ataupun skala organisasi yang dijalaninya sudah masuk cakupan nasional.

Isu nasional tidak ada habisnya dari dampak dari oknum politisi yang mengotori definisi politik. Maka sangatlah penting peran mahasiswa dan pemuda dalam menyoroti isu hangat ditingkat desa demi mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

*Penulis merupakan Mahasiswa Prodi Ilmu Politik FISIP Universitas Bung Karno Jakarta.

Related posts