Menunggu kebijakan moratorium tambang

Menunggu kebijakan moratorium tambang
Rahmat Fajri.

Oleh: Rahmat fajri

TERLETAK di wilayah paling ujung barat Pulau Sumatera, Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang dikenal dengan kekayaan alam. Hasil alam yang begitu besar harus dapat dinikmati seluruh rakyat Aceh sampai kapan pun, sekarang sudah sepatutnya kekayaan Aceh dijaga dengan baik oleh rakyatnya.

Fakta di lapangan berbeda dengan harapan yang dicapai, kekayaan alam yang menjadi sumber pendapatan berkelanjutan untuk kesejahteraan malah menjadi malapetaka untuk diri sendiri.

Itu terlihat dari cara pengambilan hasil alam yang tidak sesuai membuat lingkungan menjadi tercemar dan rusak. Bahkan banyak perusahaan-perusahaan yang mengolah hasil alam tidak sesuai dengan peraturan. Akibatnya bencana pun setiap tahun selalu melanda Aceh, salah satunya banjir, longsor. Bencana itu terjadi hampir di seluruh kabupaten/kota.

Disatu sisi benar apabila dikatakan musibah atau bencana datang karena sudah kehendak yang di atas. Namun faktor kerusakan hutan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab itu juga menjadi penyebab seringnya bencana di Aceh.

Dari segi pengetahuan, gundulnya hutan akibat penebangan dan pertambangan ilegal menyebabkan akar tumbuhan hilang dan tidak mampu menyerap air hujan bila meluap.

Kemarau atau kekeringan juga disebabkan karena kurangnya cadangan air yang diserap tumbuhan. Contoh baru sebulan terjadi kemarau, tempat pemandian Mata Ie, Aceh Besar, sudah kering, puluhan hektare sawah masyarakat di Aceh Besar gagal panen.

Pertanyaan kemudian, jika bencana setiap tahun datang, berapa kerugian yang ditimbulkan?

Pemerintah Aceh selalu menggelontorkan bantuan penaggulangan bencana yang mencapai miliaran rupiah bahkan sampai triliunan setiap tahunnya. Sangat disayangkan jika uang rakyat Aceh dihabiskan untuk menangani bencana yang disebabkan karena ulah oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.

Seharusnya pemerintah harus mengambil langkah tepat bagaimana mengurangi kerusakan alam karena adanya perambahan hutan dan pertambangan ilegal ini. Sehingga uang Aceh tidak dihabiskan untuk perbaikan kerusakan akibat bencana, tetapi bisa digunakan untuk hal yang penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh.

Berdasarkan SK Kementerian Kehutanan disebutkan total luas kawasan hutan Aceh lebih kurang 3.549.813 hektare. Terbagi dari luas kawasan hutan lindung sekitar 1.844.500 hektare, kawasan hutan konversi kurang 1.066.733 hektare serta kawasan hutan produksi lebih kurang 638.580 hektare.

Namun, kerusakan hutan di Aceh kini yang diakibat dari buruknya tata kelola hutan dan aktivitas ilegal dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir mencapai 290 ribu hektare. Dan diperkirakan laju deforestasi yang terjadi di provinsi Aceh mencapai 32 ribu hektare per tahun.

Jika Pemerintah Aceh ingin menyelamatkan sumber daya alam, maka perlu adanya langkah tepat agar hutan tetap terjaga dengan baik. Semua mengetahui Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah mempunyai misi Aceh Green (Aceh hijau) ketika berkampanye pada pilkada lalu. Kini rakyat Aceh tinggal menunggu kerja cepat atas program yang sudah disampaikan itu.

Moratorium (penangguhan)

Irwandi Yusuf ketika menjabat Gubernur Aceh periode 2007-2012, sempat mengeluarkan Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 05/Instr/2007, tanggal 6 Juni 2007 tentang Moratorium Logging, dan merancang seribu pengamanan hutan untuk menjaga kawasan hutan Aceh sebagai bentuk upaya mengamankan visi Aceh Green.

Aceh saat itu menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan kebijakan moratorium logging. Kebijakan itu belum mencapai hasil yang maksimal, jabatan sebagai orang nomor satu di Aceh beralih ke tangan Zaini Abdullah.

Beda pemimpin, beda kebijakan. Menjabat sebagai Gubernur Aceh, Zaini Abdullah mengeluarkan kebijakan baru yakni Intruksi Gubernur bernomor 11/INSTR/2014 tentang moratorium izin usaha pertambangan mineral logam dan batubara. Ingub itu berlaku selama dua tahun sejak ditetapkan pada 30 Oktober 2014 ini.

Dua tahun berjalan, Ingub Pertambangan itu mendapatkan hasil yang sangat baik. Bahkan menjadi salah satu champions yang berhasil di tingkat nasional dan bahkan menjadi panutan (role model) dalam menerapkan tata kelola pertambangan yang baik.

Disisi lain, Aceh menjadi salah satu provinsi yang berhasil mengurangi Izin Usaha Pertambangan (IUP) terbanyak. Berdasarkan data dari Dinas ESDM Aceh, jumlah IUP tahun 2014 sebanyak 138, pasca keluarnya Ingub tersisa hanya 46 IUP.

Selain itu, sebelum moratorium tambang keluar, sebanyak 65 IUP berada di kawasan lindung, dan empat izin tambang berada di kawasan konservasi. Tetapi setelah adanya moratorium pertambangan, kawasan hutan Aceh berhasil diselamatkan sebanyak 265,743,70 hektare.

Melihat adanya capaian setelah moratorium itu keluar, Abu Doto–sapaan Zaini Abdullah–melanjutkan moratorium itu hingga berkahir pada Oktober 2017. Selama tiga tahun berjalannya moratorium itu, jumlah IUP yang tersisa hingga sekarang yakni 32 IUP.

Kini, publik menunggu langkah selanjutnya Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, apakah akan memperpanjang atau melanjutkan kembali ingub tersebut atau tidak. Namun hingga kini belum ada tanda-tanda ingub itu akan dilanjutkan.

Moratorium pertambangan perlu dilanjutkan karena seperti diketahui Qanun Aceh tentang pertambangan telah dicabut dan dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri. Artinya Aceh dalam “kekosongan regulasi”; dan untuk menimalisir kekosongan hukum, maka salah satu cara adalah melanjutkan Moratorium Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam dan Batubara, faktanya selama moratorium dilaksanakan puluhan IUP bermasalah telah dicabut, tetapi belum seluruhnya diterbitkan SK Pencabutan. Karena itu penting moratorium tetap dilanjutkan.

Sumber daya alam Aceh perlu dilestarikan agar para penerus Aceh kelak masih bisa menikmati kekayaan alam yang ditinggalkan para pendahulunya.

Sangat besar harapan kepada Pemerintah Aceh hari ini untuk dapat kembali melanjutkan moratorium tambang dan bahkan moratorium logging sebagai salah satu cara menjaga hutan dan lingkungan Aceh, serta untuk mengimplementasi dalam mewujudkan misi Irwandi-Nova yaitu Aceh hijau. Dengan moratorium akan sangat membantu kita menyelamatkan sumber daya alam Aceh.

*penulis adaah Alumni Sekolah Anti Korupsi Aceh (SAKA) dan Sekretaris Umum DPD IMM Aceh.

Related posts