Minimnya pelayanan kesehatan di Aceh  jadi perhatian DPD RI

Minimnya pelayanan kesehatan di Aceh  jadi perhatian DPD RI
Ilustrasi. (wartakesehatan.com)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Keterbatasan yang dimiliki pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di daerah begitu jelas terlihat. Salah satu keterbatasan yang menjadi problem krusial dalam pelayanan kesehatan adalah perlindungan hukum terhadap kepentingan pasien.

Hal tersebut disampaikan Ketua Komite III DPD RI, Fahira Idris seusai melakukan Rapat Kerja Daerah (RKD) Komite III DPD RI dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan Pasien di Banda Aceh, Senin (5/2).

Dalam RKD ini rombongan Komite III DPD RI berdialog bersama Sekda Provinsi Aceh Dermawan, Asisten 1 Pemprov Aceh, Kepala Dinas Provinsi Aceh, Muspida Provinsi Aceh, Ombudsman dan LSM Kesehatan.

Menurut Fahira, belum optimalnya layanan kesehatan disebabkan karena penyelenggara layanan kesehatan sejauh ini lebih sering dianggap sebagai komoditas ekonomi ketimbang komoditas sosial.

Padahal, sambung Fahira, menjadikan layanan kesehatan sebagai komoditas ekonomi bukan saja bertentangan dengan UU Kesehatan, tetapi lebih jauh lagi merupakan ancaman bagi keadilan sosial.

Fahira menyampaikan, kekuatan dan transaksi ekonomi yang mendominasi pola hubungan antara pasien dengan rumah sakit dan pasien dengan dokter atau tenaga kesehatan telah berdampak pada tidak seimbangnya kedudukan pasien dengan rumah sakit dan pasien dengan dokter/tenaga kesehatan. Pasien akan selalu ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dan lemah.

“Dengan posisi yang lemah tersebut, pasien tentu akan sering terlemahkan. Jangankan untuk menuntut kerugian secara perdata maupun pidana, untuk menuntut tenaga kesehatan dan/atau fasilitas kesehatan atas dasar pelanggaran etika saja sangat sulit,” jelas Fahira.

Lanjutnya, alih-alih hendak melakukan tuntutan hukum untuk memperoleh keadilan justru pasienlah yang terkena tuntutan hukum.

Fahira mengingatkan, memberikan dan menjamin perlindungan pasien sejatinya juga merupakan wujud dari menjamin hak hidup seseorang sebagaimana disebut dalam Pasal 28 I ayat (1)  UUD 1945; yang dalam teori hak asasi manusia dikategorikan sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights).

Sedikitnya, sebut Fahira, ada dua alasan mengapa perlindungan pasien dapat dikategorikan sebagai bentuk lain dari hak hidup seseorang. Pertama dari sisi teknis, bahwa inti dari perlindungan pasien adalah keselamatan pasien (patient safety).

“Keselamatan jiwa pasien menjadi prioritas utama dalam memberikan perlindungan kepada pasien. Pada asasnya tidak ada satu tenaga kesehatan pun yang mempunyai niat untuk mencelakakan pasien,” imbuhnya.

Kedua, dari sisi substantif norma dalam konstitusi UUD 1945, maka pasal 28 H ayat (1) yang menjadi rujukan kosntistuional pemberian layanan kesehatan kepada masyarakat berdasarkan UU Kesehatan maupun pasal 28 I berada dalam satu rumpun norma yakni norma tentang hak asasi manusia, yang merupakan perluasan atau hasil amandemen kedua dari Pasal 28 UUD 1945.

Berdasarkan argumentasi ini maka Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 sejatinya juga menjadi landasan konstitusional bagi perlindungan pasien.

“Hingga saat ini belum ada regulasi yang secara khusus mengatur tentang perlindungan pasien. Catatan-catatan kami berdasarkan kunker di Aceh ini masih banyak terjadi masalah pelayanan kesehatan baik yang muncul karena dipicu kesalahan dokter, pihak rumah sakit ataupun pemerintah sendiri sebagai penjamin hak-hak kesehatan rakyat. Maka, perlu segera disusun RUU Tentang Perlindungan Pasien untuk,” katanya.

Sekretaris Daerah Ombudsman Provinsi Aceh Ayu Putri menyampaikan, sejumlah kekurangan dalam pemberian pelayanan kesehatan di Aceh seperti minimnya jumlah ketersedian obat, peralatan medis yang ketinggalan zaman dan banyaknya dokter yang bertugas di desa-desa yang bolos dinas disaat jam kerja.

“Pada tahun 2017 ada laporan dugaan malpraktek 16 kasus. Penyebabnya beragam mulai dari ketidakprofesionalan dokter dalam melayani pasien hingga buruknya pelayanan kesehatan dari pihak rumah sakit,” ungkap Ayu.

Wakil Direktur RSU Zainal Abidin menjelaskan, penyebab tidak optimalnya pelayanan kesehatan disebabkan oleh berbagai faktor. Di antaranya lambatnya BPJS Kesehatan membayar klaim pembiayaan pasien BPJS kepada pihak rumah sakit.

“Karena BPJS telat bayar klaim, pihak kami jadi kesulitan untuk membeli obat dan lainnya. Akibatnya pelayanan menjadi tidak maksimal. Faktor ini bukan kesalahan pemerintah daerah sebenarnya,” jelasnya.

Anggota DPD RI Provinsi Aceh, Rafli mengutarakan, kinerja Dinas Kesehatan Provinsi Aceh dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat sudah cuku berjalan dengan baik. Hanya saja belum berjalan dengan sempurna.

“Dinas Kesehatan sudah berupaya. Cuma memang memperbaiki layanan kesehatan kepada pasien semua pihak harus ikut andil, baik itu pemerintah pusat, BPJS ataupun Rumah Sakit,” pungkasnya. [Aidil/rel]

Related posts