Kisah pemodal awal pesawat Indonesia asal Aceh yang tak pernah naik pesawat

Nyak Sandang menunjukkan bukti surat obligasi yang pernah diberikan Pemerintah saat ia menyumbang untuk beli pesawat. (Kanal Aceh/Randi)

Aceh Jaya (KANALACEH.COM) – Nyak Sandang, Pria berusia 91 Tahun begitu bersemangat saat ditanya bagaimana masyarakat Aceh berjuang melawan penjajah.

Pria kelahiran Lamno, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh ini masih ingat betul bagaimana heroiknya masyarakat Aceh dulu, hingga masyarakat Aceh bukan hanya berkorban mempertaruhkan nyawa, tapi harta benda pun turut dipertaruhkan.

Salah satunya menyumbang uang, emas dan hasil alam lainnya untuk membeli pesawat bagi Presiden Soekarno. Nyak Sandang, ialah satu diantara masyarakat saat itu yang masih hidup hingga kini dan menyimpan bukti obligasi sebagai donatur pembelian pesawat dengan nama Seulawah 001 atau saat ini bernama Garuda Indonesia Airways.

Ia menceritakan, pada Tahun 1950 saat itu Gubernur Aceh, Tgk Daud Bere’euh mengunjungi masjid Lamno untuk bertemu dengan masyarakat. Untuk mengumumkan bahwa Presiden Soekarno meminta Rakyat Aceh agar menyumbangkan hartanya supaya Indonesia bisa memiliki pesawat.

Mengingat saat itu, Indonesia baru saja mendeklarasikan kemerdekaannya, dan pesawat menjadi transportasi yang sangat penting untuk berpergian atau berhubungan dengan luar negeri. Mengabarkan kepada dunia bahwa telah berdiri sebuah negara bernama Indonesia.

Surat hutang atau obligasi yang dimiliki oleh Nyak Kandang. (Kanal Aceh/Randi)

“Atas seruan Gubernur saat itu, kita rela menyisihkan harta benda, untuk kita sumbangkan. Apalagi ini untuk kepentingan Negara, ada yang menyumbang ayam, kambing, uang bahkan tanah,” sebutnya pada wartawan saat dijumpai di kediamannya, di Desa Lhuet, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya, Selasa (6/3).

Nyak Sandang, waktu itu berusia 23 Tahun. Ia dan Ayahnya menyumbang sepetak tanah dengan luas di dalamnya 40 batang kelapa. Tanah itu dijual seharga 100 perak pada Tahun 1950.

Tanpa pikir panjang dan ikhlas atas pemberian sumbangan itu, kata dia, para donatur diberikan bukti surat pernyataan utang (Obligasi). “Kami dikasih surat ini setelah menyumbang, dan akan dibayar kembali dalam waktu 40 Tahun,” ucap pria yang sudah memiliki tujuh anak ini.

Nyak Sandang saat menceritakan heroiknya masyarakat Aceh. (Kanal Aceh/Randi)

Bukan hanya dia, warga di Lamno saat itu ada juga yang menyerahkan seluruh hartanya untuk di sumbangkan. Namun, 40 Tahun berjalan, janji untuk mengembalikan itu terkubur dalam ingatan warga sekitar, apalagi paska itu Soekarno dilengserkan.

Nyak Sandang masih menyimpan dengan rapi tanda penerimaan uang darinya kepada pemerintah Indonesia, yang memuat keterangan bahwa sumbangan tersebut berbentuk hutang pemerintah Indonesia kepada rakyat Aceh.

Dalam tanda penerimaan tersebut memuat jenis hutang, jumlah, nama yang mendaftarkan, tahun dan tanda tangan penerima. Semua keterangan tersebut ditulis dalam ejaan lama. Kemudian masih jelas tulisannya.

Ia manjadi orang Aceh pertama yang membuktikan sejarah lewat relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang menemukan surat itu di kediaman Nyak sandang, bahwa Masyarakat Aceh benar telah menyumbang pembelian pesawat untuk Negara lewat obligasi yang dimilikinya.

Ia menuturkan, dengan kondisinya yang tidak lagi sehat, dengan sejumlah penyakit seperti katarak dan bermasalah dengan pendengarannya, tak pernah sedikitpun ia meminta hartanya kepada Negara.

“Saya sudah ikhlas. Tanpa dikembalikanpun saya ikhlas,” tuturnya di kediamannya yang berukuran 6X6 meter.

Meski memiliki peran penting dalam pembelian pesawat itu, bahkan Nyak Sandang belum pernah merasakan naik pesawat. “Belum pernah (naik pesawat),” ucapnya sambil tertawa.

Meski begitu, ia tidak berkeinginan naik pesawat, apalagi untuk jalan-jalan. “Cita-cita saya hanya ingin naik haji,” katanya.

Ia tidak mengharapkan apa-apa, pengorbanan orang tuanya dan masyarakat kepada Pemerintah Indonesia mutlak atas dasar ikhlas ingin membangun negeri. Dengan kondisi kehidupannya sekarang yang bisa dibilang dalam kekurangan, Nyak Sandang tetap memegang prinsip untuk tidak pernah mengiba kepada siapa pun.

Dia hanya bisa mengucap ‘bangga’ tentang apa yang telah diberikannya kepada Negara saat itu. Semoga apa yang di cita-citakannya bisa terwujud. [Randi]

Related posts