Kegigihan rakyat Aceh 145 tahun lalu lawan Belanda

Kegigihan rakyat Aceh 145 tahun lalu lawan Belanda
Panglima besar angkatan perang Belanda, Jenderal J.H.R. Kohler tewas ditembak oleh penembak jitu Aceh. (Wikipedia)

HARI ini atau tepatnya 145 tahun silam, masyarakat Aceh dilanda tak bisa tidur nyenyak. Kenapa tidak, Pemerintah Hindia Belanda di bawah naungan Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh.

Salah satu alasan pihak Pemerintah Hindia Belanda ingin memperluas kekuasaannya, mengingat Aceh merupakan lokasi yang sangat strategis dalam sistem perdagangan. Belum lagi harta kekayaan alam Aceh tak terhitung waktu itu, lada dan tambang menjadi ambisi kuat pihak Belanda.

Namun, bukan orang Aceh namanya jika tak mempertahankan kedaulatan wilayah tercintanya hingga rela mati di jalan perang. Perlawanan rakyat Aceh terhadap pihak penjajah Belanda muncul setelah penjajah Belanda tidak menerima perjanjian Traktat London 1824.

Merujuk dari sumber Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, dikatakan bahwa Kerajaan Britania Raya dan Kerajaan Belanda menandatangani perjanjian pada 17 Maret 1824 di London dengan tujuan mengatasi konflik antara Kerajaan Belanda dengan Kerajaan Inggris di Nusantara.

Kemudian dalam surat perjanjian tersebut kedua negara itu diizinkan untuk saling menukar wilayah jajahannya antara Sri Langka dan Indonesia dengan peraturan yang telah ditetapkan.

Alhasil, rupanya perjanjian Traktat London tak menguntungkan bagi pihak Belanda. Apalagi salah satu dalam perjanjian Traktat London disebutkan bahwa Belanda harus mengakui dan menghormati Kedaulatan Kerajaan Aceh.

Taktik Belanda untuk merebutkan kekuasaan Aceh tak pernah menyerah. Rayuan mautnya mampu mempengaruhi Kerajaan Inggris untuk melakukan perundingan kembali yang kemudian muncul perjanjian Taktat Sumatra.

Barulah pada tahun 1871 terjadi perjanjian Traktat Sumatra yang ditandatangani pihak Belanda dan Inggris.

Cikal bakal keinginan Belanda menguasai Kerajaan Aceh memberikan titik terang yakni salah satu dalam isi perjanjian Traktat Sumatra ialah ‘’Raja Inggris menarik segala keberatannya terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Pulau Sumatra dengan sendirinya menarik pula segala pembatasan yang terkandung dalam nota yang di pertukarkan antara delegasi Belanda dengan delegasi Inggris sebagai lampiran Perjanjian London 17 Maret 1824’’.

Niat busuk Belanda dan kehausannya menguasai wilayah Aceh tidak menunggu lama. Sebelum melakukan ekpansinya, terlebih dahulu mengancam Kerajaan Aceh untuk tunduk dan patuh terhadap kedaulatan Belanda serta harus mengakuinya. Apabila tidak menuruti, maka pihak Belanda mengamcam akan menyerang Kerajaan Aceh.

Sontak ancaman sampah itu ditolak mentah-mentah oleh Kerajaan Aceh. Begitu besar harga diri rakyat Aceh pada waktu itu bahkan tidak sedikitpun gentar menghadapi Belanda.

Seruan pertahanan Jihad gegerkan pihak Belanda

Pihak Belanda semakin geram terhadap rakyat Aceh saat mengetahui penolakan secara mentah-mentah untuk mengakui kedaulatannya. Maka dari itu, Belanda mengerahkan pasukannya untuk persiapan perang melawan Kerajaan Aceh. 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh, atau tepat hari ini 145 tahun silam.

Dari beberapa sumber yang diperoleh, saat Belanda menuju Aceh, persiapan perlawanan dilakukan dengan matang oleh Kerajaan Aceh, yang saat itu dipimpin oleh Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1873). Sultan Alaidin Mahmudsyah mulai memanggil pembesar yang ada di istana untuk bermusyawarah dan diputuskan pula bahwa Aceh tidak akan pernah tunduk kepada pihak Belanda. Serangan tetap dibalas dengan serangan, darah dibalas dengan darah.

Tanggal 6 April 1873 pasukan Belanda mendarat di Pante Ceureumen sebelah Timur Ulee Lheue. Dari sumber yang didapatkan pihak Belanda tercatat telah membawa pasukan penuh yang dipimpin oleh Jenderal Mayor J.H.R. Köhler, dibantu Kolonel C.E. Van Daalen dan Kolonel A.W. Egter van Wisserkerke selaku Kepala Staf.

Tak tangung-tangung Belanda membawa kekuatan angkatan darat seluruhnya terdiri dari 168 opsir, 3198 serdadu (1.098 Belanda dan 2.100 orang Indonesia asli), 31 ekor kuda perang untuk opsir, 149 ekor kuda untuk serdadu, 100.026 orang hukuman, 220 janda, 8 bersuami dan 300 buruh.

Selain itu kekuatan ekspedisi ini terdiri dari batalyon kesatu Barisan Madura, satu Detasemen Cavaleri, Barisan Meriam, Barisan Genie Lengkap, Staf Tata Usaha dan Dinas Kesehatan dengan lengkap baret.

Sementara itu taktik perlawanan yang dilakukan oleh Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Alaidin Mahmudsyah, dengan mengunakan dengan semangat jihad melawan penjajah Belanda (kafir).

Pertahanan rakyat Aceh menghadapi Belanda sangat kuat yang awalnya diremehkan, namun akhirnya sangat mengegerkan pihak Belanda.

Seruan perang jihad yang dilakukan Sultan Alaidin Mahmudsyah, disambut baik oleh rakyat Aceh yang mengakibatkan selama 18 hari setelah menyatakan perang ternyata Belanda harus membayar mahal, rupanya sangat banyak tentara Belanda yang mati.

Bahkan pimpinan pasukannya Jenderal Mayor J.H.R. Köhler ditembak oleh salah satu tentara kerajaan Aceh Darussalam, tepatnya di halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, pada tanggal 14 April 1873. Itu pertanda ekspedisi pertama ini gagal dan tentara Belanda ditarik pada tanggal 17 April 1873.

Kemudian dari sumber Pernak-Pernik Sejarah Aceh yang ditulis Sejarawan Aceh, Rusdi Sufi menyebutkan bahwa perang Belanda di Aceh merupakan perang terlama yang pernah dilakukan di wilayah Nusantara, yakni sejak dinyatakan perang terhadap kerajaan Aceh pada 23 Maret 1873 hingga Belanda angkat kaki dari bumi Serambi Mekkah pada tahun 1942, dan hingga saat ini rupanya perang tersebut tidak pernah berakhir dan pernyataan perang itupun tidak pernah dicabut oleh Belanda.

Kehebatan perang Belanda di Aceh ini banyak komentar dari pihak Belanda. H. C. Zentgraaff mengatakan bahwa tidak ada suatu bangsa yang begitu gagah, berani dan fanatik di dalam peperangan kecuali bangsa Aceh.

Selanjutnya komentar Paul Van ‘t Veer yang menyebutkan Aceh adalah daerah terakhir yang ditaklukkan Belanda dan merupakan yang pertama terlepas dari kekuasaannya.

Lanjutnya, kepergian Belanda dari sana ditahun 1942 adalah saat terakhir ia berada di bumi Aceh. Selama 69 tahun Belanda tiada berhenti-hentinya bertempur di Aceh.

Sementara itu, A. Doup pengarang Belanda lainnya mengatakan kepahlawanan orang Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan dan bumi persadanya seperti yang diperagakannya selama perang di Aceh menimbulkan rasa hormat dipihak Marsose serta kekaguman akan keberanian, kerelaan gugur di medan tempur, pengorbanan dan daya tahannya yang tinggi.

Hari ini kembali kita memperingati perang yang begitu lama dan terdashat itu. 145 tahun silam membuktikan bahwa begitu gigihnya rakyat Aceh dalam mempertahankan daerah dan agamanya. Maka sudah sepantasnya hingga saat ini sejarah itu selalu dikenang tanpa henti bahkan sampai kapanpun. [Fahzian Aldevan]

Related posts