Abraham Samad ingin koruptor dihukum mati

Abraham Samad. (Fajar.co.id_)

Makassar (KANALACEH.COM) – Saat mendeklarasikan dirinya sebagai calon Presiden 2019 di Anjungan Pantai Losari, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad ingin koruptor dihukum mati dan seluruh aset-asetnya disita untuk negara.

“Koruptor harus dihukum seberat-beratnya, dimiskinkan dan aset-asetnya disita untuk negara. Bila perlu, hukuman mati bagi koruptor bisa dilaksanakan untuk memberikan jaminan kepastian hukum,” kata Abraham Samad seperti dilansir laman Kompas.com, Selasa (8/5).

Abraham mengatakan, korupsi membuat rakyat kehilangan hak, sawah, dan hutannya. Korupsi juga membuat nelayan kehilangan lautnya, buruh kehilangan haknya, dan ibu-ibu kehilangan dapurnya. Korupsi pula membuat bocah-bocah kehilangan keceriaannya, dewi keadilan kehilangan ketimbangannya dan negara kehilangan wibawanya.

“Masih adakah sejumput rasa optimisme di dalam diri kita sebagai bangsa yang besar? Jawabannya tentu masih ada. Lalu bagaimana cara agar kita bisa keluar dari keterpurukan berkepanjangan ini? Hanya satu jawabanya yakni berantas korupsi. Apapun caranya, sengeri apapun risikonya, korupsi harus kita lawan,” tegasnya.

Abraham pun mengatakan, politik harus dikembalikan ke fitrahnya sebagai sarana membawa bangsa menuju kesejahteraan. Politik harus dikembalikan menjadi beradab dan beretika. Politik harus mendahulukan kepentingan rakyat, jauh di atas kepentingan pribadi dan golongan. “Politik harus dilakukan dengan cara tidak culas dan licik.

Politik yang menomorsatukan uang harus kita lawan, karena hanya akan membodohi dan menyesatkan rakyat. Dunia politik harus dicerahkan dan disiumankan dari kekhilafannya. Kini sudah waktunya kita mendorong orang-orang baik, punya integritas dan dedikasi untuk mewakafkan hidupnya terjun mengelola politik,” tandasnya.

Politik, hari ini, lanjut Abraham, adalah saling makan dan saling terkam. Manusia menjadi serigala bagi manusia lain. Saling tikam, kejamnya bukan main. Tetangga tidak saling sapa, teman menjadi musuh dan bahkan saling bunuh.

“Partai politik saling intai dan saling sandera, bertarung secara brutal dan tanpa logika. Keagungan filosofi politik sebagai alat mencapai kesejahteraan bersama tak lagi bermakna. Yang tinggal hanya kesejahteraan orang atau kelompok. Yang tak sealiran hanya teronggok di pojok,” tukasnya. []

Related posts