Catatan kritis lingkungan Aceh untuk sang Gubernur

Banjir bandang di Agara, Gubernur Aceh: Hentikan illegal logging
Ilustrasi - kerusakan hutan akibat ilegal logging. (maryknollogc.org)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Koalisi Masyarakat Sipil Aceh untuk Perbaikan Tata Kelola Hutan dan Lahan yang bekerja pada isu lingkungan dan masyarakat adat, menemui Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, di Banda Aceh, Kamis (10/05/2018). Dihadapan gubernur, mereka menyampaikan beberapa catatan kritis kondisi lingkungan Aceh saat ini.

Mustiqal Syahputra, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh saat membacakan catatan itu mengatakan, semua aspek harus bersinergi guna mencapai kesejahteraan masyarakat berkelanjutan. Caranya adalah dengan memperbaiki pengelolaan sumber daya alam serta tata kelola hutan dan lahan di Aceh.

“Prinsip ini menegaskan pentingnya pendekatan multipihak, baik pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil dan masyarakat. Dengan begitu, semua kebijakan yang diambil benar-benar mengakomodir kepentingan semua pihak secara optimal,” ujarnya.

Mustiqal menambahkan, koalisi ini terdiri dari beberapa lembaga seperti WALHI Aceh, MaTA, GERAK Aceh, JKMA, LBH Banda Aceh, HAkA, BYTRA dan Forum LSM Aceh. Semua lembaga ini, sejak 2016, mendorong perbaikan pengelolaan sumber daya alam.

Berdasarkan catatan koalisi, masih banyak kasus lingkungan hidup terutama tata kelola hutan dan lahan yang belum terselesaikan. Dampaknya, selain hutan dan lahan rusak, wilayah kelola rakyat juga hilang dan kriminalisasi warga terjadi.

“Pertambangan ilegal, sengketa lahan, pencemaran limbah oleh industri kelapa sawit dan batubara, lemahnya transparansi perizinan sektor hutan dan lahan, lambannya implementasi wilayah kelola rakyat dan penetapan hutan adat adalah sejumlah persoalan yang masih mencuat saat ini,” jelasnya.

Untuk itu, masyarakat sipil di Aceh yang bekerja untuk perbaikan tata kelola hutan dan lahan menyampaikan beberapa rekomendasi, yaitu Pemerintah Aceh harus segera menertibkan dan mencari solusi terhadap pertambangan emas ilegal serta merehabilitasi kawasan hutan, sungai, dan pemukiman yang rusak akibat kegiatan tersebut. Sanksi tegas juga diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang melakukan pencemaran limbah serta tidak patuh terhadap izin.

Pemerintah Aceh pun diharap membentuk dan menerbitkan SK Tim Peninjauan Kembali (PK) sehingga tahapan-tahapan menuju revisi Qanun No. 19 Tahun 2013 Tentang RTRW Aceh segera dilakukan. “Taskforce Pencegahan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Terpadu yang berakhir 31 Desember 2016 sesuai SK Gubernur Aceh Nomor 520.34/673/2016 dilanjutkan lagi.”

Koalisi juga merekomendasikan Gubernur Aceh segera menetapkan Tim Kelompok Kerja Perhutanan Sosial (Pokja PPS) sehingga mempercepat proses sosialisasi, fasilitasi, dan asistensi perluasan wilayah kelola rakyat melalui Skema Perhutanan Sosial. Lalu, menindaklanjuti hasil papat koordinasi hutan adat di Jakarta pada Februari 2018 dalam rangka mempercepat proses penetapan hutan adat.

“Pemerintah Aceh juga harus mengaudit PT. Aceh Nusa Indrapuri dan segera mengembalikan tanah adat yang diklaim masuk konsesi perusahaan itu di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie,” ujarnya.

Pemerintah Aceh juga harus melakukan review izin perkebunan kelapa sawit sebagai perwujudan kewenangan Pemerintah Aceh berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dalam Pasal 214. Dengan begitu, konflik sengketa lahan dan potensi korupsi dalam proses perizinan dapat dieliminir. Demikian juga dengan evaluasi izin usaha pertambangan, harus ada tim yang memantau.

“Pemerintah Aceh juga harus segera menerbitkan Surat Keputusan Pencabutan/dan atau Pengakhiran terhadap 108 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah dicabut atau telah berakhir. Juga, melakukan protektif terhadap hutan dan lahan yang dikembalikan fungsinya kepada negara seluas 685.646,31 hektar. Pemerintah Aceh juga diminta membatalkan rencana pembangunan proyek energi yang berada di kawasan lindung,” jelas Mustiqal.

Rusliadi, perwakilan dari Jaringan Komunikasi Masyarakat Adat (JKMA) Aceh mengatakan, catatan kritis yang disampaikan oleh sejumlah LSM mendapat tanggapan serius dari Gubernur Aceh. “Kami melihat, sepertinya gubernur belum mendapat informasi akurat tentang kondisi lingkungan Aceh, sebelumnya,” jelas Rusliadi di acara yang dihadiri juga Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen Abdul Hafil Fuddin.

Jaga bersama

Menanggapi hal tersebut, Irwandi Yusuf mengatakan saran-saran yang disampaikan oleh pegiat LSM memang komprehensif. Terutama, tambang ilegal yang memang salah. Pemerintah Aceh, menurut dia, tidak hanya melarang tambangan emas ilegal, yang legal juga tidak diizinkan.

Ada perusahaan yang ingin membuka tambang emas sejak dulu. Tapi, tidak kita berikan izin. Saya berharap, emas di Aceh jangan dulu diambil, sumber daya alam tersebut baru boleh dimanfaatkan ketika sudah tidak ada potensi lain. “Untuk apa membangun Freeport kedua di Aceh, bila akhirnya ada perusahaan yang kecewa dan berusaha mencari berbagai cara agar mereka bisa melakukan penambangan emas juga,” jelasnya.

Irwandi mengatakan, masih banyak potensi lain yang bisa dikembang di Aceh selain merusak hutan. Seperti sawah yang belum tergarap maksimal hingga potensi air yang melimpah.

“Saya ingin, yang menjaga hutan di Aceh ini bukan hanya saya. LSM juga berbuat, memberi solusi, tidak hanya menyampaikan ktitik. Kalau disuruh bekerja sendiri, saya tidak akan mampu,” ungkapnya.

Terkait penghentian pembangunan proyek energi di hutan, menurut dia, hal tersebut dilema. Aceh masih butuh energi.

“Persoalan ini harus kita sikapi dengan bijak dan cermat, sebagaimana proyek energi di zona inti Leuser. Untuk kasus ini, sebelum jadi Gubernur Aceh pun sudah saya katakan, meski seorang diri, proyek itu tetap saya batalkan,” tegasnya. [Mongabay]

Related posts