Pengamat: argumen untuk memberhentikan Gubernur itu rancu

Seleksi KIP Aceh, Aryos: Putusan MK adalah kunci
Pengamat politik dan keamanan Aceh, Aryos Nivada. (Ist)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Pengamat Politik dan Keamanan Aceh, Aryos Nivada, menolak argumen sejumlah pihak yang mendesak DPRA memberhentikan Gubernur, karena dinilai telah melanggar UU, khususnya pasal 56 ayat 4 UUPA dan UU No 7 tahun 2017 tentang pelantikan KIP Aceh.

“Argumen itu sebenarnya agak rancu. Pertama jelas bahwa DPRA tidak punya kewenangan memberhentikan Gubernur selaku eksekutif,” katanya melalui pesan tertulis yang diterima, Selasa (5/6).

Ia mengatakan, yang bisa memberhentikan Gubernur adalah Presiden berdasarkan Keputusan Pengadilan yaitu Mahkamah Agung.

DPRA, sebutnya, hanya memiliki kewenangan menyatakan pendapat. Atas dasar pendapat DPRA itu, Mahkamah Agung kemudian memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPRA dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permintaan DPRA itu diterima Mahkamah Agung. dan putusannya bersifat final. Menurutnya, hal itu jelas diatur dalam Pasal 48 ayat (4) UUPA.

Kedua, gubernur bisa diberhentikan tersangkut kasus hukum pidana. “Ketiga, Gubernur selaku eksekutif dalam sumpah jabatannya diwajibkan menjalankan seluruh ketentuan peraturan perundang undangan. Dalam hal ini Qanun 6 Tahun 2016 sebagai Juknis Penyelenggara Pemilu di Aceh tetap harus dijalankan selama Qanun tersebut belum dicabut,” jelas Aryos.

Alumnus Universitas Gadjah Mada ini juga mengatakan tidak tepat membuat perbandingan kondisi Gubernur menolak Pelantikan KIP karena bertentangan dengan Qanun 6 Tahun 2016, dengan kasus bendera sebagaimana diatur dalam Qanun nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang

“Kalau untuk konteks polemik Bendera berbeda dengan polemik pelantikan KIP ini. Sebelum Qanun bendera itu dibuat sudah ada PP nomor 77 tahun 2007 tentang lambang daerah,” ujarnya.

Harusnya, kata Aryos, Qanun nomor 3 tahun 2013  yang dibuat 7 tahun setelah PP bendera disahkan merujuk pada PP tersebut. Menurutnya, tidak boleh membuat desain menyerupai desain logo bendera gerakan separtis sebagaimana diatur dalam Dalam  pasal 6 ayat (4) PP 77.

Ia berpendapat, kunci penyelesaian masalah bendera dan lambang harus kordinasi Forkompinda menyelesaikan, bisa juga meminta fatwa dari Mahkamah Agung terhadap qanun bendera, dan revisi melalui program prolegda.

Sedangkan kasus pelantikan KIP, menurut Aryos sejatinya tidak ada pertentangan antara Qanun 6 /2016 dengan UUPA. Pada Pasal 57 ayat (2) UUPA menyebutkan Masa kerja anggota KIP adalah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.

“Redaksi kurang lebih sama juga tercantum dalam Pasal 10 Ayat (9) UU 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Hanya saja ditambahkan ketentuan bahwa penyelenggara sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan pada tingkatan yang sama,” jelasnya.

Artinya, lanjut aryos, redaksi UU 7 Tahun 2017 yang mengatur masa jabatan KIP membatasi maksimal 2 kali bagi komisioner KIP ditingkatan yang sama. Baik UUPA maupun UU Pemilu tidak mengatur perihal perpanjangan masa jabatan, apabila dalam situasi tertentu.

Ketentuan tersebut kemudian diatur dalam Pasal 58 ayat 1 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyelenggara Pemilu dan Pemilihan di Aceh. Pasal tersebut masih berlaku saat ini, kecuali ada ketentuan dalam UU 7 Tahun 2017 yang mengamputasi pasal ini. nyatakan tidak ada ketentuan tersebut.

Aryos menyarankan untuk mengakhiri kisruh ini, pihak DPRA harus secepatnya mengagendakan revisi Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2016.

“Solusinya harus direvisi oleh DPRA  atau ada pihak yang menggugat Qanun tersebut ke MA. Intinya ketentuan Pasal 58 Qanun 6 Tahun 2016 itu hanya dapat dinon aktifkan melalui produk hukum yang baru dibuat DPRA atau melalui keputusan pengadilan,” pungkas Aryos. [Randi/rel]

Related posts