Kisah Umar: Antara Khalifah, Keluarga dan Uang Negara

(Net)

(KANALACEH.COM) – Ketika itu, awan masih menyelimuti kota suci, Madinah. Padahal, waktu sudah hampir masuk jam waktu makan siang. Tidak adanya sinar matahari membuat anak-anak di kota itu semangat bermain di luar rumah besama teman-teman sebayanya.

Masing-masing dari mereka memainkan mainan yang diberikan orang tuanya yang dibeli dari pasar dekat di rumahnya. Tapi, hanya anak dari Khalifah Umar bin Khatab yang memegang uang perunggu, tak seperti anak-anak lainnya.

Melihat pemandangan kontras itu, Umar yang semula tersenyum melihat kebahagian anak-anak yang sedang bermain, tiba-tiba berubah. Mimik muka Umar seakan heran dan bertanya-tanya dari mana uang yang didapat oleh putranya itu.

Karena merasa tidak pernah memberinya, Umar mendekat dan duduk berhadap-hadapan dengan anaknya. Lalu, ia bertanya, “Dari mana kamu peroleh uang itu?”

Mendengar suara yang lembut, putra Umar menjawabnya dengan singkat. “Dari Abu Musa al-Asy’ari,” jawab sang anak seraya menyerahkan uang tersebut kepadanya.

Ketika itu, Abu Musa sedang menjabat posisi sebagai kepala baitul mal yang berfungsi pula sebagai lembaga perbendaharaan negara. Bergegas, Umar mendatangi Abu Musa dan meminta penjelasan.

“Betulkah engkau memberi anakku sekeping uang perunggu?” desak Umar.

“Benar, Amirul Mukminin,” jawab Abu Musa agak berdebar-debar. Abu Musa mulai merasa hal yang dilakukannya salah.

Inilah yang menjadi sumber mimik Muka Umar berubah dari senyum menjadi muram. Sambil menatap dengan tegas, Umar memerintahkan orang kepercayaanya itu dalam hak keuangan negara.

“Ceritakan asal-usul uang itu,” pinta Umar, seperti dikisahkan dalam buku Kisah-Kisah Islam Antikorupsi karangan Nasaruddin Al-Barbasi.

Dengan hati-hati, Abu Musa berkata, “Tadi pagi, saya hitung pemasukan baitul mal. Seluruhnya terdiri atas uang emas dan perak kecuali sekeping uang perunggu itu. Semua emas sudah saya bukukan dalam catatan tersendiri, demikian pula uang perak.”

Abu Musa menjelaskan, asal-usul uang perunggu itu, menurutnya, tidak seberapa harganya dan hanya satu-satunya. Jadi, Abu Musa berpikir tidak ada gunanya jika satu keping uang perunggu itu dicatat dalam daftar terpisah.

“Jadi, saya berikan kepada anak engkau, sekadar untuk membeli kue-kue kecil,” katanya.

Mendengar jawaban itu, Umar naik pitam. Dengan berang, dia berkata dengan keras, “Tidakkah kulihat anak-anak lain daripada anakku Umar yang lebih membutuhkannya?” katanya.

Umar masih melanjutkan perkataannya dengan nada kesal. “Sesungguhnya, anak seorang prajurit rendahan yang berjuang melawan pasukan Romawi di garis depan jauh lebih mulia dibandingkan anak Umar, seorang khalifah yang hanya memerintahkan tentaranya berperang dari kamar tidurnya,” katanya.

Lalu, uang perunggu itu dicampakkan di depan Abu Musa, sembari berlalu dengan masih menyimpan kekesalan.

Memang Umar tidak pernah menganggap remeh sesuatu yang disepelekan orang lain, apalagi bila bersangkutan dengan hak bani Adam. Ia berusaha untuk menjaga dan memenuhi hak orang lain serta tidak menyia-nyiakannya.

Misalnya, peristiwa yang dialaminya ketika ia naik kendaraan sewaan untuk menjenguk salah seorang sahabatnya yang menderita sakit.

Lantaran postur tubuh Umar yang tinggi besar tatkala melewati jalan yang kiri-kanannya dipenuhi batang-batang pohon, serbannya tersangkut di ranting pepononan secara tidak disengaja dan tanpa diketahuinya. Setelah agak jauh, seseorang menegurnya.

“Amirul Mukminin, serban engkau tersangkut di pohon sebelah belakang itu,” katanya.

Umar segara menghentikan kendaraannya, lalu ia turun dan berjalan kaki menuju tempat tersebut. Setelah itu, ia bergegas kembali menaiki kendaraannya.

Pelayan itu terbengong, “Kalau tidak, bukankah sebagai khalifah Tuan berhak menyuruh saya untuk mengambil serban itu?”

“Karena, serban itu miliku dan bukan kepunyaan engkau. Mengapa aku mesti menyuruh engkau? Apakah kau kira jabatan khalifah mempunyai wewenang untuk memerintahkan orang lain mengerjakan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan tugasku?” jawab Umar.

Pelayan itu terdiam tidak bisa membantu. Dalam hatinya, dia berjanji akan meniru kejujuran dan kemanahan Umar di setiap perbuatan dan tingkah lakunya.

Sikap Umar yang menentang keras terhadap apa yang menjadi bukan haknya begitu dipegang erat oleh Umar dan keluarganya. Meski ia seorang pemimpin, tidak serta merta menyepelekan hal-hal yang kecil terlebih dalam masalah harta benda yang bukan milikinya. [Republika.co.id]

Related posts