YAK: Ada 10 Butir-butir MoU Helsinki yang Belum Terealisasi

Kesepakatan MoU Helsinki. (Foto: Thenewsupdate)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Masih banyak pasal dalam MoU Helsinki yang belum terealisasi. Untuk itu, Yayasan Aceh Kreatif (YAK) meminta agar Pemerintah Pusat untuk segera mengabulkan poin-poin dalam perjanjian itu.

Pemerintah pusat, kata Direktur YAK, Delky Nofrizal Qutni, mestinya sedikit lebih bijak, wacana Referendum yang sempat dilemparkan oleh Muzakir Manaf itu, dinilai tidak serta merta ditafsirkan dan dikaitkan dengan pilpres.

“Jika kita lihat masifnya respon masyarakat Aceh, maka semestinya yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat itu adalah bagaimana pemerintah pusat mampu menjawab kegelisahan sejumlah tokoh dan masyarakat Aceh terkait nasib UUPA setelah hampir 14 tahun MoU Helsinki ditandatangani,” ungkap Direktur Yayasan Aceh Kreatif (AK) Delky Nofrizal Qutni, Kamis (13/06).

Menurutnya jika pasal-pasal yang termaktub dalam UUPA dan butir-butir MoU Helsinki tidak segera direalisasikan, hal ini justru akan menjadi bom waktu yang bisa menghadirkan gejolak-gejolak baru di Aceh.

“Tentunya kita menginginkan Aceh tetap aman dan damai, namun demikian untuk menjaga itu pemerintah pusat diharapkan dapat menunjukkan kearifan dan kebijaksanaannya dalam merealisasikan butir-butir kesepakatan Helsinki yang menjadi pondasi dan dasar perdamaian itu dapat diwujudkan,” jelasnya.

Delky menambahkan, dari 71 Pasal MoU Helsinki, setidaknya terdapat 10 Pasal yang sampai saat ini belum terealisasi. Ada yang sudah diupayakan realisasinya oleh Pemerintah Aceh, namun terkendala di tingkat pemerintah pusat.

Diantaranya yaitu, poin 1.1.3 menyangkut dengan nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh Legislatif Aceh setelah pemilu yang akan datang (2009). Kedua, poin 1.1.4 perbatasan Aceh (dengan Sumatera Utara, pen) merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.

Ketiga, poin 1.1.5 Aceh memiliki hak menggunakan simbol-simbol wilayah, termasuk bendera, lambang dan hymne. Keempat, poin 1.3.1 Aceh berhak memperoleh dana melalui utang luar negeri. Aceh juga berhak menentapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral RI (Bank Indonesia).

Kelima, poin 1.3.8 Pemerintah RI dan Aceh menyetujui auditor luar melakukan verifikasi atas pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara pusat dengan Aceh.

Keenam, poin 1.4.3 suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi dibentuk di Aceh dalam sistem peradilan RI. Ketujuh, poin 1.4.5 semua kejahatan sipil yang dilakukan aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil (Pengadilan Negeri, pen) di Aceh.

Kedelapan, Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh untuk diberikan kepada semua mantan pasukan GAM, semua tahanan politik yang memperoleh amnesti dan rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian jelas akibat konflik.

Kesembilan, Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terealisasikan. Kesepuluh, pasukan GAM akan memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan sebagai polisi dan tentara organik di Aceh tanpa diskriminasi dan sesuai dengan standar Nasional.

Menurut Delky, demi menjaga harkat dan martabat pemerintah pusat dan menumbuhkan kembali tingkat kepercayaan masyarakat Aceh dan Dunia kepada pemerintah RI, maka hendaknya hal tersebut direalisasikan segera.

Delky juga menyebutkan, jika memang masih ada pasal yang terlalu sulit untuk dikabulkan oleh pemerintah pusat, maka pemerintah bisa saja meminta pendapat masyarakat melalui referendum terkait pasal tersebut.

“Jadi, karena referndum itu artinya jejak pendapat bukan konflik seperti opini yang digiring tokoh tertentu dan referndum itu bukan pula makar. Maka, kenapa tidak untuk pasal-pasal UUPA itu dilakukan referendum. Referendum dimaksud untuk mendengar pendapat masyarakat Aceh,” tandasnya. [Randi/rel]

Related posts