Demi Sawit, Deforestasi di Rawa Singkil Kian Masif

(Dok Foto: Kompas)

Aceh Singkil (KANALACEH.COM)  – Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil telah kehilangan tutupan hutan seluas 1.324 hektare atau setara dengan 140 kali luas Blang Padang dalam kurun waktu lima tahun terakhir yakni 2019 hingga Juni 2023.

Rumah terakhir bagi orangutan Sumatera itu terus dirambah dan dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit.

Manager Geographic Information System Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Lukmanul Hakim, menyampaikan angka kehilangan hutan di SM Rawa Singkil meningkat hampir tiap tahunnya. Data terbaru dari Januari-Juni 2023 jumlahnya sudah mencapai 372 hektare meningkat mencapai 57 persen dibandingkan periode sebelumnya.

“Jika dilihat perbandingan di tahun 2022 selama satu tahun penuh sekitar 716 Ha kehilangan tutupan hutan di SM Rawa Singkil. Jadi, enam bulan pertama di tahun 2023 itu dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya meningkat deforestasi 57 persen, dan ini masih menjadi alarm untuk kita karena ada peningkatan di periode yang sama,” kata Lukman saat diskusi dan pemutaran film FJL Aceh, Minggu (30/7/2023).

Di awal kegiatan diskusi, FJL Aceh juga menayangkan film indepth dokumenter Demi Sawit yang diproduksi oleh tim FJL Aceh. Dalam film itu, FJL Aceh membagikan hasil liputan lapangannya terhadap kondisi SM Rawa Singkil yang kerap dirambah dan sudah berubah peruntukannya menjadi kebun kelapa sawit.

Koordinator Forum Jurnalis Lingkungan Aceh, Munandar, mengatakan bahwa dalam proses produksi dan pengambilan gambar mereka menemukan banyak fakta terkait deforestasi di SM Rawa Singkil khususnya yang ada di Desa Ie Meudama, Trumon, Aceh Selatan. Hal itu juga diungkapkan dalam film bahwa perambahan di hutan konservasi tersebut dibekengi oleh aparat desa, pejabat, dan penegak hukum.

“Saat produksi film ini, kami tidak sengaja bertemu langsung dengan seorang perambah yang selama ini diketahui sebagai pengusaha dan sudah memasok hasil kelapa sawitnya ke perusahaan global. Beliau menyampaikan bahwa aparat desa, pejabat, dan penegak hukum juga ikut merambah. Itu juga bisa dilihat dalam film,” Kata Nandar.

Di samping itu, lahan merah biasa disebutkan masyarakat untuk menyebutkan SM Rawa Singkil ini juga diperjualbelikan oleh masyarakat setempat. Karena itu, Nandar mengatakan tidak mudah bagi orang luar terutama wartawan melakukan liputan ke hutan konservasi itu karena ada oknum yang memanfaatkan masyarakat sebagai tameng.

“Ketika kami masuk itu tidak mudah, masyarakat curiga terutama saat membawa kamera. Posisi kami bisa saja terancam jika ketahuan sedang melakukan liputan untuk membongkar pelaku perambahan. Tetapi, kami tetap memberanikan diri masuk untuk mendapatkan fakta,” katanya.

Koordinator Polhut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Rahmat, mengatakan BKSDA Aceh selama ini tidak berdiam diri terhadap deforestasi yang terjadi di SM Rawa Singkil. Pihaknya juga sudah beberapa kali menangkap pelaku perambahan agar dapat diberikan penegakan hukum atas perbuatannya.

“Dari tahun 2015-2022 penegakan hukum sudah lima kali kita berikan yang terakhir Oktober tahun lalu, kami tangkap empat orang di Desa Cot Bayu, Trumon sudah vonis hukumannya 1 tahun 2 bulan denda Rp250 juta dan subsider 3 bulan,” katanya.

Di sisi lain, Rahmat menyampaikan bahwa BKSDA juga terkendala kekurangan personel yang bertugas mengawas dan berpatroli di SM Rawa Singkil yang luasnya mencapai 82.188 hektare dan secara administratif tersebar di tiga wilayah yakni Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil, dan Kota Subulussalam.

“Personel kami dari BKSDA yang mengantisipasi permasalahan di Rawa Singkil jumlahnya cuma 14 orang, yakni Trumon, Aceh Selatan 3 personel, Rundeng di Subulussalam ada 5 personel, dan Aceh Singkil berjumlah 6 personel,” katanya.

Selain itu, tantangan lainnya juga terhadap tapal batas yang masih belum selesai di Aceh Selatan sepanjang 73 km dan Subulusalam 30 km. Kemudian, juga terdapat penolakan dari masyarakat terhadap batas kawasan SM Rawa Singkil.

Related posts