JK ungkap rahasia perdamaian Aceh

BANDA ACEH – Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla menceritakan, tahapan perundingan perdamaian Aceh yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005, pernah hampir gagal dan mengalami dead lock atau jalan buntu. Peristiwa deadlock tersebut, kata JK, saat Malik Mahmud yang mewakili unsur GAM meminta adanya partai lokal sebagai salah satu syarat perundingan.

Hal ini dikatakan JK, saat dirinya tampil sebagai keynote speaker, atau pembicara kunci dalam acara International conference 10th Years Anniversary of MoU Helsinky, yang dilangsungkan di Banda Aceh, Sabtu, 14 September 2015.

Konferensi yang dihadiri oleh sejumlah duta besar dari berbagai negara, juga turut hadir Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, Wali Nanggroe, Malik Mahmud Alhaytar, mantan ketua Aceh monitoring mission (AMM), Pieter C Feith, dan ratusan tamu undangan lainnya.

“Sempat hampir gagal perundingan damai saat itu,” kata JK.

Wapres mengungkapkan, pada pagi dini hari, Sofyan Djalil menelpon dirinya, perihal adanya permintaan dari Malik Mahmud agar di Aceh dibenarkan adanya partai lokal, dan tentu saja permintaan itu adalah hal yang sangat sulit diwujudkan dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia.

“Saya hampir putus asa, sebab ini adalah masalah berat yang harus saya putuskan,” terang JK. Nah, sambungnya, sebagai leader atau pemimpin, selain dibutuhkan kepemimpinan yang kuat, juga jangan lupa berdoa dan bermunajat kepada Allah SWT tentang apa yang harus kita putuskan.

Setelah berdoa dan membaca yasin sebanyak 10 kali, maka esok harinya, saya telpon Sofyan Djalil juru runding dan mengatakan bahwa dirinya setuju permintaan tersebut.

“Oke saya setuju, dan minta agar perjanjian perdamaian atau MoU harus segera ditandatangani,” perintah saya saat itu kepada Sofjan Djalil dan Hamid Awaluddin mantan Menteri hukum dan HAM saat saya jadi Wapresi di era Bapak Presiden SBY.

Ada beberapa pihak yang marah atas keputusan saya menyetujui permintaan partai lokal, namun saya tegaskan bahwa, kehendak adanya partai lokal masih jauh lebih baik daripada bangsa ini terus berperang.

Tahapan perundingan damai Aceh sendiri berlangsung selama 6 bulan, dan setiap hari dirinya memantau secara langsung jalannya perundingan. “Tiap hari saya pantau, dan terasa berat memang, sebab dibutuhkan stamina yang kuat karena perbedaan waktu,” jelas JK.

Selain itu juga, kata JK, banyak pihak yang menilai langkah saya salah, sebab mengutus Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin sebagai ketua tim juru runding. Menurut mereka, dalam proses perundingan perdamaian Aceh yang seharusnya diwakili oleh Menteri luar negeri. Nah, jelas JK, kepada pihak-pihak ini saya terangkan, bahwa perdamaian Aceh itu bukan perundingan antar negara, tapi perundingan yang dilaksanakan antara sesama bangsa Indonesia.

“Aceh itukan masih Indonesia,” kata JK yang disambut tepuk tangan oleh peserta. JK juga mengungkapkan, sebab dipilihnya Hamid Awaluddin, dan Sofyan Djalil sebagai tim perunding, karena mereka ini telah lulus seleksi dan wawacancara selama satu bulan penuh.

“Jadi sebelum mereka berdua berangkat ke Helsinky, tiap hari melapor dan saya tes pemahaman mereka tentang Aceh, dan tokoh GAM yang akan mereka hadapi dalam perundingan nanti,” ungkap JK.

Hal yang paling sulit dihadapi dalam tahapan perundingan damai Aceh adalah persoalan didalam negeri, sebab, banyak politisi di DPR RI yang menolak perundingan, terutama isi perjanjian yang mereka anggap tidak sesuai dengan UUD 1945. Nah, kepada mereka yang anti perundingan saya tegaskan, mana lebih baik berperang atau berdamai, tegas JK.

Dalam kesempatan tersebut, JK mengapresiasi sikap TNI saat perundingan sudah rampung. Menurut Wapres, TNI adalah pihak yang paling menerima konsep perdamaian Aceh itu dijalankan.

Saat akan ditandatangani MoU, saya panggil Panglima TNI, saat itu Jendral Endriartono Sutarto, saya bicara berdua dengan dia, dan saya katakan, saat ini perdamaian Aceh akan ditanda tangani, dan saya tanya kepada beliau, apakah TNI menerima proses ini, dan jawaban beliau sangat elegan. Begini dijawab Panglima TNI kala itu, sebagai prajurit, TNI ikut dan patuh dengan keputusan negara, sepanjang hal itu merupakan bagian dari upaya menjaga kedaulatan NKRI, ungkap Wapres.

Jadi, pungkas JK, perundingan damai Aceh sudah dimulai sebelum peristiwa tsunami, dan kejadian maha dahsyat tersebut menjadi momentum percepatan penandatangan Memorandum of Understandi (MoU) Helsinky. [Saky]

Related posts