Banda Aceh (KANAL ACEH) – Aktris nasional, Ine Febriyanti mementaskan monolog pahlawan asal Aceh, Cut Nyak Dhien dalam acara Kongres Peradaban Aceh (KPA), Rabu (9/12) malam.
Saat pementasan dimulai, tiba-tiba suasana di gedung AAC Dayan Dawood, Banda Aceh, terasa hening dan semua mata ratusan penonton tertuju ke panggung yang dibalut kain hitam dan dihiasi lampu berwarna oren di sisi kanan dan kiri.
Terduduk di atas panggung yang gelap, awalnya Ine bercerita tentang keberadaan Cut Nyak Dhien yang terasing hingga ke Sumedang, Jawa Barat. Betapa, rindunya Cut Nyak Dhien dengan kampung halamannya.
Mempertaruhkan nyawa demi tanah kelahiran adalah ibadah. “Memisahkan aku dari nanggroe nyo (Aceh,red) lebih menyakitkan dari ratusan peluru yang menghantam tubuhku,” teriak Cut Nyak Dhien seperti yang diperankan Ine Febriyanti.
Lalu, Ine menceritakan tentang kehidupan Cut Nyak Dhien semenjak menikah dengan suami pertamanya, Teuku Ibrahim. Ia menjelaskan, Tengku Ibrahim adalah seorang panglima prang yang pemberani dan sosok yang sangat keras.
“Sekeras apapun Tengku Ibrahim, aku ini istrinya, aku tahu betul cara menghadapinya,” kata Cut Nyak Dhien yang disambut gesekan cello oleh Yasin Burhan.
Setelah ditinggal oleh Tengku Ibrahim yang meninggal di medan perang, Cut Nyak Dhien kemudian menikah dengan Teuku Umar untuk bersama-sama melanjutkan perjuangan dalam mengusir penjajah Belanda dari Aceh.
Makin tua, Cut Nyak Dhien tidak bisa berbuat apa-apa. bahkan penyakitnya tidak bisa disembuhkan lagi. Pesan Cut Nyak Dhien, perang ini masih jauh dari selesai, bahkan sampai pada anak cucu nanti. “Aku perempuan merdeka!,” teriak Cut Nyak Dhien seperti dipentaskan Ine di akhir pementasan.
Selama pementasan berlangsung, tidak ada penonton yang berisik apalagi beranjak dari kursi. Tepukan tangan menyambut Ine Febriyanti di akhir pementasan itu.
Pementasan sekitar 40 menit ini menampilkan sosok Cut Nyak Dhien sebagai perempuan yang menyayangi suami dan anak-anaknya, serta sosok yang tangguh di medan perang. [Aidil Saputra]