Keyakinan Itu Jembatan Untuk Kembali Tegak

Keyakinan Itu Jembatan Untuk Kita Kembali Tegak
Wajah Asli Anak Aceh. foto kompasiana.com

Bumi Tanah Rencong terperangkap dalam upaya mengafankan ratusan ribu mayat. Sebelas tahun lampau, Aceh adalah kesenyapan yang mencekam laksana bekas peradaban yang tercemarut.

Guncangan gempa tektonik berkekuatan 9,3 SR disusul gelombang tsunami pada Minggu pagi, 26 Desember 2004 adalah musibah kita bersama, tangis, luka dan rasa sakit kita bersama.

11 tahun lalu, Aceh terperangkap dalam upaya mengafankan ratusan ribu mayat. Ditengah rasa putus asa dan gempa susulan, malam dan siang hari, mereka tetap berjalan, menyusuri lorong-lorong kota mencari orang-orang yang mereka cintai.

Bulan berikutnya, sejumlah televisi dan stasiun-stasiun radio pun tak henti menyiarkan daftar orang-orang hilang. Segera setelah kembali terbit, surat kabar juga dipenuhi daftar panjang identitas orang yang dicari keluarganya.

Fakta! bahwa orang Aceh selalu hidup dalam resiko. Masih segar dalam ingatan kita, dibulan pertama sesudah bencana, Pemerintah mengeluarkan keputusan bahwa daerah yang terkena bencana adalah AREAL yang dilarang untuk kembali dihuni.

Semua orang paham, bahwa pinggiran laut atau rawa-rawa merupakan kawasan yang buruk untuk ditempati dan melanjutkan kehidupan. Zona penyangga tentunya diperlukan untuk melindungi penduduk. Tenda-tenda dan barak-barak pengungsi disediakan sebagai tempat tinggal sementara. Relokasi merupakan tahap berikutnya.

Namun, hari demi hari, makin banyak masyarakat mengabaikan ATURAN untuk tidak kembali ke tempat asal. Bagi orang Aceh, tidak ada tempat lain untuk memulai hidup.

Orang Aceh selalu kemukakan; gempa adalah ujian Allah, yang akan terjadi dimana dan kapan saja. Hmm, kegelisahan, ketidaknyamanan dan ketakutan memang menjadi bagian dari kehidupan sebelum dan sesudah Tsunami. Karena itu, banyak masyarakat menolak saat dipindahkan ke barak penampungan, tempat dimana warga dulu sering ditahan saat operasi militer (konflik Aceh)

Benar, memulai kembali membutuhkan semangat tinggi dan andil seluruh masyarakat, baik itu sesudah pertempuran ataupun setelah musim kering. Bagi orang Aceh, berjalan tanpa tujuan bukanlah obat untuk therapy rasa duka.

Dan akhirnya, masyarakat tetap memilih kampung halaman. Tsunami yang memporak-porandakan sendi kehidupan tidak mengubah pendiriannya karena bagi orang Aceh rumah adalah tempat mengenang masa lalu, waktu yang hilang dan ikatan yang pernah ada.

Tanah dan halaman tempat rumah itu berdiri adalah milik keluarga dan asset yang ‘diamanahkan’ untuk masa depan keluarga. Rumah adalah bilik kelahiran dan tempat ia dibesarkan. Rumah adalah satu-satunya tempat merajut harapan kepastian. Tempat berkokoknya ayam jantan, kata Indatu.

Rakyat Aceh paham, membangun sebuah rumah adalah membangun struktur sosial. Membangun kembali permukiman adalah membangun kembali sejarah masyarakat yang hilang. Laksana tamsil; Kursi goyang tak kan membawa kita kemanapun.

Dalam buku setebal 266 halaman ‘The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Hasan Tiro, juga jelas tertulis, Hanya orang gila dan dungu yang percaya aku tak akan kembali lagi.

Dunia Masuk Tanah Rencong

Mustahil membangun puing-puing reruntuhan apabila Pemerintah dan GAM masih berseberangan paham. Tsunami Aceh menggelitik nurani yang akhirnya lahirlah ‘damai Aceh’ disebuah Mansion tua kota Vantaa, sebuah kota yang berselimut salju, 25 KM diluar kota Helsinki, Finlandia.  Sejarah mencatat, mediator dan fasilitatornya adalah mantan kapten Army Reserve yang juga Presiden Finlandia ke-10, Martti Ahtisaari, melalui lembaga non Pemerintah, Crisis Management Initiavite (CMI).

Aceh Damai! Komunitas Tentara dan Sipil Internasional masuk. Together helping others. Mereka pun mengepung sudut-sudut tanah indatu, menyalurkan bantuan ‘emergency’ kemanusiaan, hingga bersama-sama melanjutkan fase dan proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh.

Perubahan besar telah terjadi. Hari ini, Aceh merupakan tempat yang berbeda, hasil kerja keras dan kerjasama yang baik, dari  biaya yang besar.

Infrastruktur yang rusak telah diperbaiki dan kita harus yakin masa depan lebih baik dari hari ini, sebab keyakinan adalah jembatan untuk kembali tegak dan menatap mentari esok dengan optimisme.

Renungan sejenak tentu diperlukan tuk mengayang egoisme diri dan menghentikan aliran pikiran kita yang terbatas, hingga jendela qalbu terbuka dan memancarkan isinya. Secara anatomi dan biokimia, sistem lakrimasi dan airmata juga penting untuk membersihkan dan mencerahkan mata, melegakan perasaan, membunuh bakteri sekaligus mengeluarkan racunnya.

“Tak ada kenaikan kelas bagi seorang murid tanpa mengikuti UJIAN,” kata Ali Raban, Kontributor Senior MetroTV, disela-sela ngopi bareng di Banda Aceh. Kisah atau peutuah yang ‘ditelorkan’ diantara kepulan asap di warkop, terkadang memang unik dan menarik. Ada cerita keunikan ikan lumba-lumba, ada yang membenci perayaan tahun baru, ada yang menerjemahkan definisi bom atom, ada pula yang matanya berkaca, karena ‘Smong’ memisahkan istri dan 2 putri kesayangannya, sebelas tahun lalu.

“Gak ada sehelai daun pun dari sebatang pohon akan runtuh tanpa izin dan kehendak-NYA,”tambah Fikri Haikal, sambil memperdengarkan suara ‘emasnya’ Ebiet G Ade.

Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih. Suci lahir dan didalam batin, Tengoklah kedalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat. Singkirkan debu yang masih melekat..

Anugerah dan bencana adalah kehendak-Nya. Kita mesti tabah menjalani.

Hanya cambuk kecil agar kita sadar, adalah Dia diatas segalanya.                                 

Adalah Dia di atas segalanya…hooo…hooohooo.

By. Adi Syafruddin

Related posts