Radikalisme Bukan Ajaran Islam

Radikalisme Bukan Ajaran Islam
Ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Ust. Mutiara Fahmi (Ist)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Islam adalah agama yang menyebarkan kasih sayang dan kebaikan untuk umat manusia. Karenanya, radikalisme atau sikap ghuluw (melampaui batas dan berlebih-berlebihan) dalam agama, bukanlah ajaran Islam, namun sikap tercela dan dilarang oleh syariat.

Hal tersebut disampaikan Ust. Mutiara Fahmi, Ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry‎, Banda Aceh saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (27/1) malam.

“Sikap radikalisme atau ghuluw itu sama sekali bukan ajaran Islam, apalagi sampai melakukan teror atas nama agama dan jihad,” ujar Mutiara Fahmi.

Menurutnya, sikap radikalisme dalam beragama ini sangat berbahaya karena telah merusak Islam. Umat Islam juga harus menghindari sikap radikal dan kekerasan dalam beragama. Jangan sampai memaksa dalam menyebarkan dakwah Islam.

“Silahkan kita menyampaikan pesan Islam dan menebarkan dakwah dengan cara-cara santun karena itu tugas setiap pribadi muslim, tapi ingat hanya penyampai. Jangan berlebih-lebihan dan memaksa dengan cara-cara radikal atau teror,” terangnya.


Baca juga:

Prodi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry Gelar Diskusi tentang Radikalisme

GP Ansor Nilai Buku TK ‘Anak Islam Suka Membaca’ Ajarkan Radikalisme


‎Ustaz Mutiara Fahmi juga mengingatkan, umat Islam hanya penyampai atau pemberi peringatan, bukan orang yang menaklukkan. Seseorang muslim itu tidak bisa memberi hidayah untuk ikut ajaran Islam, karena itu kekuasaan Allah.

“Kita hanya memberikan pesan dakwah, dan dapat pahala. Didengar atau tidak itu bukan urusan kita, Allah yang lebih punya kuasa,” kata Ustaz Mutiara yang juga Dewan Muhtasyar Yayasan Tgk. Hasan Krueng Kalee ini.

Menurut Mutiara Fahmi, pemikiran dan sikap radikalisme muncul dalam sejarah Islam pertama kali oleh kaum khawarij. Sejak abad pertama hijriah, sikap fanatik dan intoleran serta keeksklusifan kaum khawarij sudah menjadi ciri khas dari kaum ini.

Pada awalnya khawarij adalah pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib. Sejarah khawarij berawal dari perang shiffin, yaitu perang antara pasukan Ali melawan pasukan Muawiyah pada tahun 37 H/648 M. “Saat Khalifah Ali hendak memenangkan perang, dan Muawiyah menawarkan perundingan sebagai jalan penyelesaian peperangan, maka sahabat Ali menerima tawaran dari Muawiyah,” ujarnya.

Karena kesediaannya, menerima perundingan sahabat, Ali pun ditinggalkan oleh kurang lebih 4000 pengikutnya yang tidak sepakat dengan sahabat Ali. Dari sinilah khawarij muncul sebagai kelompok. Tidak sepahamnya khawarij dengan sahabat Ali tentang masalah perundingan, bahwa khawarij memandang Ali sudah melawan kehendak Tuhan atau keluar dari hukum Agama. Karena menurut khawarij, permusuhan haruslah diselesaikan dengan kehendak Tuhan, dan bukan atas dasar perundingan.

“Kaum khawarij kemudian mengkafirkan Ali bin Abi thalib dan Muawiyah. tidak sampai di situ saja, kaum mayoritas yang tidak menyetujui perang pun ikut dikafirkan juga oleh kalangan khawarij,” ungkapnya.

Bagi khawarij, kata Mutiara Fahmi, jika seorang muslim melanggar ketentuan Alquran (secara teks), maka darahnya halal untuk ditumpahkan. Dan setelah itu sahabat Ali pun dibunuh oleh seorang khawarij, yakni Ibnu Muljam.

” Jika kita berbicara konteks kekinian, mungkin khawarij sudah tiada, namun pemikiran dan sikapnya tetap berkembang dan diteruskan oleh mereka-mereka neo-khawarij yang tak kalah kejamnya. Islam sama sekali tidak pernah melegitimasi tindakan-tindakan radikalisme, apalagi terorisme yang dilakukan orang yang membawa-bawa nama Islam akhir-akhir ini,” jelasnya. [Sammy/rel]

Related posts