Suka duka pendirian Ponpes Tauthiatul Abraar di Pidie

Suka duka pendirian Ponpes Tauthiatul Abraar di Pidie
Pondok Pesantren Tauthiatul Abraar di Desa Reului Budu, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie (Kanal Aceh/Fahzian Aldevan)

Sigli (KANALACEH.COM) – Kehadiran pondok pesantren (ponpes) sebagai tempat belajar ilmu agama, khususnya di gampong-gampong menjadi sarana bagi anak didik untuk memperdalam kajian dalam bidang agama.

Namun, kebanyakan pengurus ponpes kerap kewalahan menyiasati berbagai biaya yang diperlukan untuk membantu operasional pesantren. Apalagi, pemerintah sering dianggap abai dan kurang peduli dengan lembaga pendidikan itu.

Pendiri Ponpes Tauthiatul Abraar di Desa Reului Budu, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie, Bahagia Abdullah menceritakan sekilas kisah pahitnya dalam pembangunan pesantren itu.

Sekitar tujuh tahun lalu, tepatnya 25 Mei 2009, Ponpes Tauthiatul Abraar itu berdiri. Ia menjelaskan, dulunya tanah yang ditempati pesantren itu masih berupa hutan yang direncanakan akan digunakan untuk berkebun.

“Dulunya saya meminta kepada pemilik tanah untuk membeli. Ya, walaupun saat itu saya serba kekurangan. Saya merasa tanah itu merupakan tempat yang cocok untuk mendirikan pesantren. Tapi saat saya meminta membelinya, pemilik tanah justru berencana mau berkebun,” ujarnya saat ditemui Kanalaceh.com di rumahnya di Desa Reului Budu, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie, Minggu (21/2) siang.

Ia mengaku banyak sekali rintangan yang harus dilalui saat pertama kali proses pembangunan ponpes itu. Hingga dengan usaha yang gigih, akhirnya pemilik tanah tersebut mewakafkan sebagian tanahnya untuk pembangunan pesantren.


Baca juga:

Himas Unsyiah akan adakan baksos di Pidie

Himas sosialisasikan pendidikan untuk para santri di Pidie


“Saat saya menjelaskan rencana saya (mendirikan ponpes), akhirnya pemilik tanah tersebut, Samaun Saman, mewakafkan tanahnya,” jelasnya.

Awalnya hanya ada empat pengajar dan 25 santri. Mereka diajarkan dasar–dasar ilmu agama bagi pemula dan tingkat lanjut bagi santri yang sudah mampu menguasainya.

“Waktu itu baru ada satu balai ukuran 4×9. Tiga bulan kemudian dibangun satu balai lagi. Alhamdulillah, santrinya bertambah jadi lima puluh orang lebih,” ujarnya.

Kini, ponpes itu sudah menampung sekitar lebih dari 400 santriwan dan santriwati dan 24 tenaga pengajar. Dalam sehari ada tiga kali proses mengajar, yaitu pagi setelah salat subuh, siang, dan malam.

Ia menyatakan bahwa para pengajar itu tak mendapatkan honor selama mengajar di pesantren tersebut. “Mereka mengajar dengan ikhlas tidak sepeser pun mereka minta, hanya mengharapkan keikhlasan dan semata–mata karena Allah Swt,” ungkapnya.

Pemerintah menurut pengakuan Bahagia juga tak pernah memberikan bantuan untuk ponpes yang ia dirikan itu. “Dari Badan Dayah Pemerintah Pidie setiap tahunnya selalu ada mengecek. Cuma ngecek aja. Entah apa yang selalu dicek,” ujarnya, gusar.

Ia menambahkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pidie hanya menyediakan honor untuk empat orang pengajar saja.

“Yang ada jerih payah guru tiap tahun hanya honor untuk empat orang guru saja. Padahal guru kan ramai sekali, tapi yang disediain kabupaten cuma empat orang,” keluhnya.

Terkait dengan iuran yang harus dibayarkan santri ke pesantren, ia mengaku dari awal berdirinya ponpes sejak 2009 hingga sekarang, ia hanya mengutip 5.000 ribu rupiah per bulan untuk setiap santri.

“Itu pun tidak dipaksa. Bahkan, ada yang sampai dua tahun belum bayar.”

Ia berharap agar ke depan Pemerintah lebih peduli dan memberikan bantuan untuk operasional ponpes pedalaman seperti yang telah dirintisnya itu.

“Semoga ke depan Pemerintah memperhatikan pesantren yang ada di pedalaman atau pelosok–pelosok, khususnya di Aceh yang sangat membutuhkan bantuan dari pemerintah. Apalagi kita lagi membangun daerah syariat Islam. Mudah–mudahan wacana ini terlaksana dengan baik,” harapnya. [Fahzian Aldevan]

Related posts