Gubernur Aceh diminta segera selesaikan tambang bermasalah

Ilustrasi pertambangan. (Kontan)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Koalisi Peduli Tambang Aceh mendesak Gubernur Aceh untuk menyampaikan laporan hasil evaluasi terhadap penerbitan IUP serta rekomendasi IUP Clear and Clean kepada Menteri ESDM dengan tepat waktu.

Perwakilan Koalisi Peduli Tambang Aceh, Fernan mengatakan, resume hasil evaluasi ini selanjutnya dapat disampaikan kepada publik sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial dan lingkungan.

“Serta berani melakukan upaya serius untuk mencabut izin perusahaan yang terbukti melanggar aturan baik piutang, serta perusahaan yang tidak melakukan pelaksanaan reklamasi dan pasca tambang,” kata Fernan dalam siaran pers yang diterima Kanalaceh.com, Jumat (13/5).

Menurutnya, tanggal 12 Mei 2016 adalah hari terakhir bagi gubernur se-Indonesia menindaklanjuti hasil Koordinasi dan supervisi (Korsup) KPK, salah satunya Gubernur Aceh. Salah satu syaratnya sebagaimana kewajiban Permen ESDM Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tatacara Evaluasi Penerbitan IUP Mineral dan Batubara.

“Adapun kewajiban tersebut adalah mewajibkan bagi pemerintah daerah dalam hal ini gubernur untuk segera melakukan tindaklanjut dari temuan hasil korsup KPK, termasuk melaporkan seluruh kegiatan yang ditindaklanjuti kepeda kementerian ESDM sebagai pihak yang mendapat mandat dari UU,” ujarnya.

Ia menyatakan, sudah saatnya Gubernur Aceh bertindak. “Publik berharap “IUP bandel” segera dicabut jangan sampai dibiarkan dan menimbulkan masalah yang lebih berat,” katanya.

Hasil kajian Koalisi Peduli Tambang Aceh menunjukan selama korsup KPK berlangsung, setidaknya ditemui beberapa hal permasalahan terhadap evaluasi IUP yang ada. Pertama, sebanyak 4 IUP masuk di kawasan konservasi dengan total seluas 31.316 Ha.

“Ini meliputi wilayah kabupaten Aceh Tengah seluas 31 ribu ha; Gayo Lues 198 ha dan Aceh Selatan 87 ha. Sedangkan di kawasan hutan lindung total 399.959 ha meliputi 65 IUP/KK, Padahal ini jelas-jelas melanggar pasal 38 ayat (1) UU 41/1999 jo. UU 19/2004,” sebut Fernan.

Yang kedua, kata Fernan, masih banyaknya IUP yang belum CNC. Dari 138 IUP ada (per 2014), 84 IUP atau 61 persen belum Clean and Clear (CnC), sisanya sebanyak 54 sudah mendapatkan CnC, dan dalam UU 4 tahun 2009 CnC merupakan standar sertifikasi yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM terhadap IUP yang memenuhi kewajiban administrasi dan tidak tumpang tindih wilayah.

“Yang ketiga, belum dibayarnya piutang negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) per tahun 2014 sebesar Rp10,8 miliar. Sejak tahun 2011 piutang PNBP mencapai Rp1,2 miliaar. Tahun 2012 naik menjadi Rp5,7 miliar. Dan angka ini terus naik sampai akhir 2014 naik kembali mencapai Rp10,8 miliaar. Jumlah ini terus meningkat mencapai Rp11,8 miliar per Maret 2015,” ujarnya.

Ia berharap gubernur juga harus menyampaikan kepada publik terhadap upaya Pemerintah Aceh melakukan penataan terhadap kelola sektor tambang. “Dan kita juga mengetahui bahwa sektor tambang ini sangat kompleks maka sudah seharusnya Pemerintah Aceh dapat melibatkan partisipasi berbagai pihak untuk terlibat melakukan pengawasan,” harapnya.

Karena itu, kata Fernan, Koalisi menyatakan beberapa sikap terkait hal ini. Pertama, mendesak Gubernur Aceh untuk menyampaikan laporan hasil evaluasi terhadap penerbitan IUP. Kedua, mendesak Pemerintah Aceh segera memperbaharui kebijakan daerah untuk mencegah izin tambang baru di wilayah hutan lindung dan konservasi.

“Ketiga, mendorong Pemerintah Aceh untuk memperbaiki proses perizinan khusus untuk sektor pertambangan melalui mekanisme perizinan satu pintu. Keempat, mendesak Pemerintah Aceh segera memperpanjang pelaksanaan moratorium tambang,” sebutnya.

Terakhir, kata Fernan, pihaknya meminta masyarakat di sekitar wilayah tambang untuk dapat berperan aktif dalam pengawasan kegiatan pertambangan yang berdampak kepada kerusakan lingkungan dan kerugian sosial. [Sammy/rel]

Related posts