Belanda Depok yang terancam punah

Soejadi Soedira di rumahnya. Rumah bilik tersebut dibangun kakeknya, Edward Soedira pada 1906. (Detik)

PERTANYAAN terkait suku bangsa pernah menjadi masalah untuk anggota komunitas 12 marga di Depok, Jawa Barat, terutama pada masa awal Orde Baru. Mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan di instansi pemerintahan hanya karena persoalan nama keluarga.

Ferdy Jonathans, misalnya. Meski lahir di Bumi Parahyangan dan berbicara dalam logat Sunda, ia tetap dicurigai sebagai bagian dari bangsa penjajah Belanda. Karena itu, ia dan orang-orang keturunan budak di era VOC yang tinggal di Depok lebih memilih bekerja di sektor swasta atau menjadi wirausaha mandiri.

“Kalau ditanya soal suku, kami angkat tangan. Ya, kami memang kehilangan identitas,” kata Koordinator Bidang Aset Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, Depok, itu saat ditemui di kantornya, Selasa (11/10) lalu.

Beruntung, perlahan situasi berubah. Nama keluarga mereka kini tak lagi dipermasalahkan. “Sebenarnya di sisi lain kami bangga karena kami ini disatukan dari berbagai suku. Kami adalah Bhinneka Tunggal Ika,” Ferdy menambahkan.

Jonathans adalah satu dari 12 nama marga keturunan bekas budak petinggi VOC yang mengelola wilayah Depok bernama Cornelis Chastelein. Belakangan, masyarakat awam lebih mengenal dengan olok-olok sebagai “Belanda Depok”.

Sebelas nama marga lainnya adalah Bacas, Laurens, Leander, Loen, Soedira, Tholense, Zadokh, Isakh, Jacob, Samuel, dan Joseph. Pengelompokan nama marga itu muncul setelah Cornelis meninggal pada 28 Juni 1714.

“Tak ada informasi pasti asal-muasal angka 12 marga itu. Tapi, dari cerita turun-temurun, itu dianggap berhubungan dengan 12 murid Yesus,” ujar Ferdy.

Menurut Ferdy, nama marga diberikan oleh Bapprima Lucas berdasarkan pengelompokan anggota komunitas.

“Tujuh marga merupakan nama bawaan, seperti Soedira. Sisanya diberikan Bapprima sesuai dengan nama dalam Alkitab, seperti Isakh, Jacob, Jonathans, Samuel, dan Joseph,” kata pria kelahiran Bandung, 61 tahun lalu, itu.

Kini jumlah keturunan budak Chastelein yang hidup di Depok sekitar 800 keluarga. Belum termasuk yang pindah ke Belanda setelah revolusi kemerdekaan. Marga Zadokh pun hilang karena garis patrilineal.

Yano Jonathans, penulis Depok Tempo Doeloe, menyebut Cornelis Chastelein sebagai orang Belanda yang punya nurani. Putra Anthonie Chastelein, Direktur VOC untuk Kamar Dagang Amsterdam, yang lahir di Amsterdam pada 10 Agustus 1657 itu dikenal sangat humanis.

Dia ke Batavia mengikuti bibinya, Henriette Chastelein, saat usianya masih 17 tahun. Cornelis langsung mendapat pekerjaan di VOC sebagai pemegang buku berkat pengaruh suami bibinya, Cornelis van Quaelbergh, yang saat itu anggota istimewa Dewan Hindia.

“Cornelis Chastelein itu orang Belanda, tapi karakternya bukan sebagai penjajah pada umumnya. Dia seperti Edward ‘Multatuli’ Douwes Dekker di Banten,” kata Yano.

Karier Cornelis Chastelein menanjak karena dinilai cakap dan cekatan. Pada 1682, ia diberi tanggung jawab atas gudang besar VOC di Kastil Batavia.

Namun akhirnya mundur pada 1691 karena berseberangan pandangan dengan Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn. Setelah mundur, Cornelis membeli banyak bidang tanah. Ia menguasai tanah yang kini dikenal dengan wilayah Pintu Air, kemudian di Srengseng, dan Weltevreden.

Bukan hanya itu, Cornelis juga mendapat hadiah berupa tanah di Mampang, wilayah di dekat Depok, dari pemerintah Batavia pada 15 Februari 1696, lalu membeli tanah Depok pada 18 Mei 1696 dari Lucas van der Meur. Tanah Karang Anyar, yang kemudian disebut Cinere, didapatkan dari pemerintah Batavia pada 1711.

Tempat peristirahatan Cornelis Chastelein di Srengseng, Lenteng Agung, dibangun pada 1699. (Repro buku Depok Tempo Doeloe)
Tempat peristirahatan Cornelis Chastelein di Srengseng, Lenteng Agung, dibangun pada 1699. (Repro buku Depok Tempo Doeloe)

Selain itu, tanah kecil di sebelah timur Kali Ciliwung dibeli pada 5 September 1712 dari Tio Tong Ko dan lahan di sebelahnya dibeli pada 5 Agustus 1713 dari Kapiten Bali Oessien. Pada akhirnya, lima persil tanah itu disatukan menjadi Depok.

Sebelumnya, dia membeli lahan di Lenteng Agung dan membangun sebuah villa di Srengseng Sawah. Namun lahan yang berbukit-bukit, kata Yano, menyulitkan sistem pengairan bagi aneka kebun yang dikelolanya. “Akhirnya dia membeli tanah di Depok,” ujar Yano.

Cornelis Chastelein dikenal punya minat khusus pada bidang pertanian dan perkebunan. Menurut pandangannya, hanya ada satu cara membuat koloni menjadi makmur, yakni pembentukan masyarakat pertanian.

Pada 1693-1697, ia mengirimkan kapal ke bagian timur Nusantara untuk mengambil para budak. Tercatat jumlahnya 150 orang, sebagian besar berasal dari Bali, Makassar, dan daerah lain di wilayah timur Indonesia.

Mengapa Cornelis tidak mengambil budak dari Jawa, yang lebih dekat? Menurut Dr Lilie Suratminto, pengajar bahasa Belanda dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, hal itu disebabkan adanya perjanjian VOC dengan Kerajaan Mataram, yang mensyaratkan agar orang-orang dari Pulau Jawa tidak boleh dijadikan budak.

“Kalau tidak ada perjanjian itu, budak Cornelis Chastelein pasti banyak dari Jawa,” ujarnya.

Budak-budak itu kemudian mengelola lahan yang berada di wilayah Depok, kecuali tanah di seberang Kali Ciliwung. Mayoritas budak kemudian memeluk agama Kristen. Namun ada juga yang beragama Islam, seperti Jan van Bali alias Batoepahan.

Cornelis sangat menjaga moral komunitas yang dibangunnya. Ia melarang orang Depok bergaul dengan penari ronggeng. Termasuk membatasi orang Cina masuk ke kawasan Depok untuk mencegah komunitasnya tertular kebiasaan judi dan candu.

“Komunitasnya harus hidup murni. Ini karena pengaruh aliran Kristen konservatif yang dianutnya,” kata Lilie.

Sejumlah budak senior lalu diangkat menjadi pimpinan komunitas. Jarong van Bali diangkat menjadi mandor pertanahan dibantu tujuh pengurus, di antaranya Daniel van Makassar dan Gabriel van Bali. Sedangkan sebagai guru rohani, diangkatlah Lucas Bapprima van Bali.

“Sebenarnya meniru cara Portugis-Spanyol menguasai daerah. Portugis itu menguasai daerahnya dengan melakukan kristenisasi. Nama-namanya diganti dengan nama barat. Jadi nama penduduk asli diubah,” ujar Lilie.

Para budak pun diajari bahasa Belanda sebagai pemersatu. Tradisi dan budaya yang dibawa masing-masing budak lalu dilebur. Namun budaya Bali masih dominan.

Hal itu tampak dengan adanya dua set gamelan Bali yang dimiliki komunitas itu. Gamelan kecil dipakai untuk latihan, sementara gamelan besar dimainkan dalam seremoni tertentu. “Sayangnya, gamelan-gamelan hilang saat peristiwa Gedoran,” kata Ferdy Jonathans.

Sejak 1696, Cornelis Chastelein mulai memikirkan nasib para pekerja dan seluruh asetnya jika dia meninggal. Surat wasiat pun mulai disiapkan. Tercatat ada lima kali revisi sampai akhirnya surat wasiat terakhir dibuatnya pada 13 Maret 1714.

Isi pokok surat wasiatnya adalah memerdekakan semua budaknya beserta seluruh garis keturunannya dari ikatan perbudakan. Agar tidak mendapat kesusahan, kepada budaknya ia menghibahkan tanah seluas 1.244 hektare untuk dikelola dan diolah secara bersama-sama. [Detik]

Related posts