Bungkamnya Aung San Suu Kyi saat Rohingya kembali di buru

Jaksa Pengadilan Rakyat dakwa Myanmar lakukan genosida
Aung San Suu Kyi. (jpinyu.com)

(KANALACEH.COM) – Bentrokan antara militer Myanmar dengan warga Rohingya terus terjadi. Dalam sepekan terakhir, setidaknya 130 orang tewas akibat bentrokan tersebut.

Para muslim Rohingya yang tinggal di wilayah Rakhine, sejak dua hari lalu mencoba untuk menyeberangi perbatasan Bangladesh. Sayangnya kehadiran mereka ditolak oleh penjaga perbatasan.

Namun, kemanakah pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi melihat rakyatnya menjerit meminta pertolongan? Apakah dia mendengar teriakan minta tolong warga Rohingya saat tempat tinggalnya habis dibakar dalam bentrokan tersebut?

Penyelidik hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Yanghee Lee, bertemu dengan Aung San Suu Kyi di Ibu Kota Naypitaw dalam perjalanan pertamanya ke Myanmar, sejak perempuan tersebut mengambil alih kekuasaan April lalu. Dalam pertemuan tersebut, Suu Kyi menjelaskan pemerintah Burma menghindari masalah kontroversial ini.

“Pada pertemuan mereka pagi ini, Menteri Luar Negeri Daw Aung San Suu Kyi menjelaskan sikap kami tentang masalah ini (Rohingya), bahwa hal kontroversial tersebut harus dihindari,” seru Sekretaris Permanen Kementerian Luar Negeri Myanmar Aung Lin.

Sebagai informasi, Aung San Suu Kyi dilarang memiliki kursi kepresidenan oleh konstitusi militer karena anak-anaknya berkewarganegaraan Inggris, makanya dia menjabat sebagai Menlu Myanmar. Namun, dia mengubah konstitusional negara tersebut dengan menjadikannya pemimpin de facto pemerintahan.

Meski dia adalah pemimpin de facto pemerintahan, Suu Kyi masih belum bisa meredam konflik yang terjadi di negaranya antara umat Buddha dan Muslim di sana. Setidaknya 1,1 juta warga muslim Rohingya dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh, padahal mereka sudah tinggal di barat laut Myanmar puluhan tahun lalu.

Komisaris tinggi PBB urusan HAM Zeid Ra’ad Hussein mengatakan, dari laporan yang ada mengenai Rohingya, mereka kesulitan mendapat pekerjaan. Tak hanya itu, untuk akses ke rumah sakit juga memerlukan dokumen khusus sehingga banyak dari mereka mengalami penundaan perawatan, dan menyebabkan banyaknya kematian pada bayi dan ibu hamil.

Zeid menambahkan, situasi ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan merupakan kejahatan internasional. Hal itu merupakan pelanggaran serius yang bisa meluas dan sistematis.

“Pemerintah baru telah mewarisi situasi di mana undang-undang dan kebijakan berada di tempat yang dirancang untuk menolak hak-hak dasar kaum minoritas, dan ini adalah pelanggaran serius terhadap masyarakat karena bisa mendorong kekerasan lebih lanjut,” ucapnya dikutip dari The Guardian.

Menurut dia, satu-satunya cara agar kekerasan tidak terjadi adalah membalikkan diskriminasi tersebut, yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah baru.

Aung San Suu Kyi sebenarnya telah membentuk sebuah komite pembawa perdamaian dan pembangunan untuk negara pada Mei lalu, namun rencana ini tidak jelas. Kemenangan Suu Kyi di pemilu lalu diharapkan bisa membawa perubahan bagi kaum muslim Rohingya, nyatanya hingga kini keadaan yang sama terus terjadi.

Bahkan, kepada dunia luar dia menutupi apa yang terjadi di negaranya. Pemerintah Myanmar menolak tuduhan yang diberikan muslim Rohingya bahwa militer mereka telah menewaskan wwarga yang melarikan diri dari konflik di negara tersebut.

Setidaknya lebih dari seratus orang tewas dan 30.000 lainnya jadi pengungsi. Para muslim Rohingya mencoba untuk kabur melalui Sungai Naaf, yang merupakan perbatasan Myanmar dan Bangladesh, namun mereka ditembaki oleh militer.

Bentrokan antara Rohingya dan junta militer Myanmar terjadi sudah sangat lama. Sebelum bentrokan tahun ini, pertempuran ras terparah di wilayah ini terjadi pada 2012, tepatnya di Rakhine yang menewaskan ratusan orang.

Pertempuran terekspos ke media usai Aung San Suu Kyi beroleh penghargaan Nobel Perdamaian beberapa bulan sebelumnya.

Tentara Myanmar sudah dikerahkan menjaga sepanjang perbatasan Burma dengan Bangladesh, usai serangan terkoordinasi pada tiga pos perbatasan pada 9 Oktober lalu yang menewaskan sembilan polisi. Dalam tujuh hari terakhir militer Myanmar telah mengintensifkan operasi di sekitar dengan menggunakan helikopter. Puluhan orang tewas saat operasi ini berlangsung.

Kini, Aung San Suu Kyi bungkam. Tidak ada sepatah kata pun dari dia menghentikan pertempuran etnis yang terjadi di negaranya. Akankah dia menjadi Ibu yang baik bagi seluruh masyarakat Myanmar dari berbagai suku dan budaya? Jawabannya hanya tinggal menunggu waktu. [Merdeka]

Related posts