Penetapan titik nol Peradaban Islam Nusantara di Barus dianggap keliru

Penetapan titik nol Peradaban Islam Nusantara di Barus dianggap keliru
swarakepri.com

Banda Aceh (KANALACEH.COM) –Beberapa hari ini masyarakat terus membicarakan tentang sejarah Titik Nol Pusat Peradaban Islam Nusantara, pasalnya Jumat (24/3) lalu, Presiden Joko Widodo tiba-tiba telah meresmikan Tugu Titik Nol Pusat Peradaban Islam Nusantara di Barus, Tapanauli tengah.

Peresmian tersebut diduga tanpa adanya kesepakatan dari para ahli dan pihak sejarawan itu sendiri. Pasalnya diketahui bahwa awal Islam di Nusantara itu ialah di Aceh.

Sejarawan Aceh, Husaini Ibrahim menilai peresmian Tugu Titik Nol Pusat Peradaban Islam Nusantara di Barus tersebut sebuah politik yang dimainkan.

“Saya menilai bahwa peresmian tugu titik nol pusat peradaban Islam Nusantara di Barus merupakan nuansa politik yang dimainkan,” Kata Husaini kepada kanalaceh.com saat di temui di ruang kerjanya, Senin (27/3)

Kerena menurut Husaini, dalam segi sejarah, peletakan ataupun peresmian sesuatu, seperti tugu nol sejarah nusantara tersebut membutuhkan tahap yang harus di lewati. Seperti seminar sejarah, yang dihadiri banyak pakar seperti pakar sejarah, arkeologi dan lainnya yang berkaitan dengan awal Islam di Nusantara.

Husaini pun berujar bahwa dari kesepakatan para ahli sudah terbukti awal Islam di Nusantara padahal di Aceh, bahkan dalam beberapa buku juga sudah disebutkan. “Ada Islam di Perlak dan ada Islam di Samudra Pasai abad ke 13 Masehi,” Sebutnya.

Saat ini telah kembali ditemukan dikawasan Lamreh, Kabupaten Aceh Besar kerajaan Lamuri yang membuktikan lebih awal lagi dari kerajaan-kerajaan sebelumnya.

“Hasil penelitian yang telah kami temukan bahwa di lamuri itu lebih awal lagi malah telah di temukan batu nisan yang tertulis abad ke 11 M, dan itu sangat menarik,” kata Husaini

“Kalau belakangan ini terkenal dengan penistaan agama ini ialah penistaan sejarah,” tutur husaini yang juga dosen di Kampus FKIP sejarah ini. “Artinya bahwa melakukan sesuatu tanpa perhitungan yang dasar itu ada efeknya, tapi itu hak mereka, tidak masalah bagi saya,” sambung Husaini.

Menurutnya, dalam ilmu sejarah tersebut yang paling penting ialah bukti, karena jika tidak ada bukti yang jelas maka tidak bisa disebutkan dengan sejarah. “No dokumen No History,” katanya. [Fahzian Aldevan]

Related posts