Irwan Djohan sebut DPRA menganggap Qanun kebudayaan itu penting

Wakil DPRA imbau perusahaan kontraktor perhatikan keselamatan pekerja
Wakil Ketua DPRA, Irwan Djohan. (Ist)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Menanggapi pemberitaan di media massa yang menyebutkan bahwa DPRA tidak menganggap qanun kebudayaan sebagai hal yang penting, sehingga tidak masuk dalam prioritas yang akan dibahas oleh DPRA pada tahun 2017 ini, Wakil Ketua DPRA, Teuku Irwan Djohan, menjelaskan bahwa pemahaman tersebut sangat keliru.

Teuku Irwan Djohan juga menyayangkan apabila ada pihak yang kemudian mengeluarkan pernyataan bahwa ke-Acehan anggota DPRA perlu dipertanyakan, karena tidak memasukkan qanun kebudayaan ke dalam prioritas Program Legislasi Aceh (Prolega) 2017.

Politisi NasDem ini mengatakan bahwa pemahaman tersebut terbalik. Karena menurutnya, justru DPRA yang menganggap Qanun Kebudayaan itu penting sehingga membuat usulan dan berjuang untuk memasukkannya ke dalam Prolega 2017 sebagai usul inisiatif DPRA.

“Setahu saya, selama hampir tiga tahun saya di DPRA, tidak ada satu pihak pun yang pernah mengusulkan secara resmi kepada kami untuk membuat qanun tersebut, baik dari masyarakat, dari budayawan, maupun dari eksekutif,” kata Irwan Djohan melalui pesan tertulis yang diterima kanalaceh.com, Kamis (4/5).

Dikatakannya, bahwa usulan DPRA tentang qanun kebudayaan yang secara lengkap diberi judul ‘Qanun Perlindungan Kebudayaan, Situs Bersejarah dan Purbakala Aceh’ itu, justru pertama kali ia dengar dari Anggota Komisi VII DPRA Ramadhana Lubis, yang membidangi sektor keagamaan, kebudayaan dan pariwisata.

“Jadi kalau ada yang mempertanyakan ke-Acehan anggota DPRA, saya pikir wajar juga, karena usulan Qanun Perlindungan Kebudayaan Aceh itu justru datang dari Pak Ramadhana Lubis. Ini perlu diketahui oleh masyarakat,” kata Irwan.

Irwan Djohan merasa publik masih perlu diberikan pemahaman tentang mekanisme penyusunan dan pembahasan qanun, mulai dari tahap mengumpulkan usulan hingga ditetapkan dalam Sidang Paripurna.

“Menyusun dan membahas qanun itu ada mekanismenya, dan perlu dipahami qanun itu bukan murni produk legislatif, tetapi produk bersama antara legislatif dengan eksekutif. Mulai dari tahap usulan hingga pembahasan dan penetapan semuanya melibatkan eksekutif,” kata Irwan.

Irwan menambahkan, setiap tahun DPRA menerima usulan rancangan qanun, baik dari eksekutif, dari masyarakat, juga dari komisi-komisi di DPRA. Semua usulan yang masuk tersebut kemudian dibawa ke rapat, baik di Badan Legislasi (Banleg) dan Badan Musyawarah (Banmus). Dari sekian banyak usulan rancangan qanun, kemudian diputuskan bersama dengan eksekutif, rancangan qanun mana saja yang akan dibahas pada tahun mendatang.

“Biasanya dari eksekutif, setiap tahun ada sekitar 15 judul usulan rancangan qanun. Begitu juga dari DPRA ada sekitar 10 sampai 15 usulan. Belum lagi usulan masyarakat, baik dari organisasi, komunitas, lembaga, dan sebagainya. Semua usulan itu tidak mungkin ditampung seluruhnya, karena menyangkut keterbatasan waktu dan anggaran. Dan biasanya yang menang pihak eksekutif, usulan mereka yang lebih banyak tertampung di Prolega,” urai Irwan Djohan.

Terkait pertemuannya dengan Ketua Forum Kota Pusaka Aceh (FKPA) Teuku Farhan, Irwan Djohan menjelaskan bahwa pertemuan itu terjadi tanpa sengaja.

“Waktu itu Teuku Farhan hendak menjumpai Wakil Ketua I DPRA Sulaiman Abda untuk membicarakan rencana keberangkatan Teuku Farhan ke Turki. Karena Pak Sulaiman Abda belum ada di kantor, dia mampir ke ruangan saya. Kami bincang-bincang tentang banyak hal hingga ke soal kebudayaan dan situs purbakala.”

“Saat itulah saya beritahukan kepadanya bahwa DPRA sudah menggagas lahirnya ‘Qanun Perlindungan Kebudayaan, Situs Bersejarah dan Purbakala Aceh’, tapi belum berhasil lolos sebagai prioritas. Justru saya lihat Saudara Farhan terkejut mendengar informasi itu dan langsung memfoto berkas yang saya tunjukkan padanya,” kisah Irwan Djohan. [Randi/rel]

Related posts