Pengamat sebut KKR Aceh tidak bisa dibubarkan

Pernyataan Direktur YARA dinilai lukai hati para korban HAM
Gubernur Aceh, Zaini Abdullah melantik komisioner KKR Aceh di gedung DPRA, Senin (24/10). (Kanal Aceh/Randi)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Menyikapi adanya desakan pembubaran lembaga Komisi Keadilan dan Rekonsiliasi (KKR) yang diwacanakan oleh sejumlah pihak, pengamat politik dan keamanan Aceh, Aryos Nivada, menyatakan bahwa keinginan untuk membubarkan KRR Aceh tidak bisa serta merta dilakukan.

“Hal ini dikarenakan KKR Aceh ini sendiri merupakan nandat dari MoU Helsinki, Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA), serta aturan perundang-undangan yang mengatur tentang HAM,” kata Aryos dalam siaran persnya kepada Kanalaceh.com, Sabtu (6/5).

Sebagaimana diketahui MoU Helsinki merupakan ikatan perjanjian perdamaian antara pihak yang berkonflik di Aceh, yaitu Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Republik Indonesia yang ditandatangani tahun 2005.

Penandatanganan nota kesepahaman ini menjadi titik balik dari seluruh rangkaian konflik dan kekerasan yang terjadi di Aceh selama kurang lebih tiga dekade.

“UUPA sekaligus mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh yang memiliki mandat untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah undang-undang ini diundangkan sebagaimana termaktub dalam pasal 28 UUPA,” sebutnya.

Lanjut Aryos, sedangkan untuk perkara pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, UUPA mengamanatkan dan menegaskan pembentukan sebuah komisi kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 229 UUPA. Sedangkan teknis pelaksanaan KKR Aceh diatur dengan Qanun Aceh sebagaimana disebutkan pada Pasal 230 UUPA.

“Artinya, Pemerintah Pusat mau tidak mau harus mengakomodir pembentukan KKR Aceh,” jelasnya.

Aryos juga menjelaskan, meski payung hukum nasional yaitu UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR telah dibatalkan MK. Aceh masih tetap dapat mengacu kepada 3 instrumen hukum nasional.

“Instrumen hukum yang dapat digunakan yaitu TAP MPR N0 IV/1999, TAP MPR No.V/2000 dan UU Pengadilan HAM,“ ujar penulis Buku Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Transisi Politik Aceh ini.

Sejatinya, kata dia, KKR adalah institusi yang dipercaya mengadvokasi hak-hak korban konflik Aceh untuk mendapatkan pemenuhan keadilan. Terutama terkait kompensasi, restitusi, reparasi dan rekonsiliasi.

Selain itu, keberadaan KKR Aceh mempunyai misi terpenting, yaitu pengungkapan kebenaran melalui penyelidikan dan investigasi.

“KKR Aceh adalah satu satunya lembaga yang diberi kewenangan oleh UUPA untuk melakukan hal itu,” kata Aryos.

Sehingga upaya untuk melemahkan kelembagaan ini, sambungnya, patut diwaspadai sebagai bagian dari upaya menutupi pengungkapan kebenaran terhadap konflik Aceh masa silam.

“Wacana pembubaran KKR merupakan wacana sesat yang dikeluarkan pihak pihak yang tidak pro terhadap korban konfilk,” demikian Aryos. [Aidil/rel]

Related posts