ICJR nilai hukum cambuk pasangan LGBT diskriminatif

ICJR nilai hukum cambuk pasangan LGBT diskriminatif
Ilustrasi - Salah satu pelanggar syariat islam di eksekusi hukuman cambuk di depan ratusan orang, di Mesjid Al Muttaqin, Peunayoung Banda Aceh, Senin (31/10). (Kanal Aceh/Randi)

Jakarta (KANALACEH.COM) – Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono mengkritik hukuman terhadap pasangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Aceh.

MT (24) asal Langkat, Sumatera Utara dan MH (20) warga Jeunieb Kabupaten Bireuen ditangkap warga karena diduga melakukan hubungan sesama jenis pada 28 Maret 2017.

Mereka dihukum masing-masing 85 kali cambuk oleh Majelis Hakim Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh.

“Aturan pidana bagi LGBT telah menimbulkan stigma luar biasa terhadap kelompok LGBT dan sekaligus menyasar mereka secara diskriminatif akibat orientasi seksual mereka,” kata Supriyadi melalui siaran pers, Kamis (18/5).

Mereka dinyatakan bersalah karena melanggar “Jarimah Liwat”. Berdasarkan Pasal 63 ayat 1 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, ancaman hukumannya masing-masing 100 kali cambuk atau denda paling banyak 1.000 gram emas murni atau penjara paling lama 100 bulan.

Kasus ini merupakan kasus liwat pertama yang menggunakan dasar hukum Qanun Jinayat sejak diberlakukan pada 2015.

Di samping liwat, Qanun juga mengatur mengenai “musahaqah”, yakni aturan pidana yang ditujukan bagi LGBT dalam Pasal 64 dengan ancaman hukuman yang sama.

Menurut Supriyadi, aturan tersebut menimbulkan stigma luar terhadap kelompok LGBT sekaligus menyasar mereka secara diskriminatif akibat orientasi seksual mereka. Ia menilai, sejak awal aturan ini keliru dan seharusnya ditolak.

“Pertama, aturan ini merusak hak privasi dan membuka intervensi yang luar biasa terhadap hak-hak yang paling privat dengan cara menakutkan dan memalukan,” kata Supriyadi.

Selain itu, aturan tersebut juga memberikan legitimasi bagi negara untuk memberikan hukuman yang berat bagi WNI yang memiliki orientasi seksual yang berbeda.

Mereka disasar dengan ancaman pidana yang tinggi dengan hukuman cambuk dan denda. Menurut Supriyadi, hukuman cambuk tidak manusiawi atau merendahkan martabat.

“Tidak ada dasar legitimasinya di Indonesia. Sistem hukum pidana Indonesia jelas menolak corporal punishment (hukuman badan),” kata dia.

Sedangkan ancaman hukuman pidana penjara 100 bulan, kata Supriyadi, telah membuka peluang terdakwa memilih hukuman cambuk yang dianggap lebih cepat.

Ia juga mengritik praktik pengadilan di Mahkamah Syariat Aceh untuk kasus-kasus Qanun Jinayat, khususnya akses advokat dan bantuan hukum.

Aspek mengenai bantuan hukum dalam Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat cenderung lemah.

Mayoritas tersangka dan terdakwa yang dijerat oleh pasal-pasal tersebut tidak memiliki akses dukungan advokat atau pengacara untuk membantu mereka dalam persidangan.

“Dalam kasus ini, ICJR tidak melihat adanya dukungan advokat dan bantuan hukum yang diberikan untuk membantu pembelaan hak-hak mereka di depan pengadilan. Padahal, ancaman pidana yang diancamkan termasuk pidana berat,” kata Supriyadi. [Kompas.com]

Related posts