Jemur properti film berupa bendera PKI, Aidil diciduk aparat keamanan

Ilustrasi.

Jakarta (KANALACEH.COM) – Jajang C Noer hanya mengingat orang itu dipanggil Aidil. Namun meski sudah berselang lebih dari 30 tahun, Jajang masih ingat apa yang dialami Aidil saat pembuatan film”Pengkhianatan G30S/PKI”.

Jajang yang dalam produksi film itu berlaku sebagai pencatat adegan masih ingat betul betapa susahnya membuat film yang mengangkat Peristiwa 1965 itu.

Mulai dari tahapan riset yang minim sumber-sumber dari PKI, sampai keamanan di lapangan saat produksi film.

Di sisi lain, sang sutradara, Arifin C Noer adalah seorang sineas yang sangat memerhatikan detil dan tidak sembrono.

Jajang mengakui selama pengerjaan “proyek negara” itu, mereka tidak mendapatkan tekanan dari TNI, yang waktu itu masih bernama ABRI.

Kalaupun ada pengawasan yang dilakukan di lokasi syuting, hal itu dilakukan hanya untuk menjaga keamanan di lapangan saja.

Namun, pernah satu ketika kru bagian properti bernama Aidil ditangkap aparat keamanan. Gara-garanya, Aidil membuat properti bendera PKI.

“Dijemur (bendera itu) di halaman dia, di dalam gang. Saya ingat. Diciduk dia, ditahan. Aidil, saya ingat banget itu,” tutur Jajang seperti dilansir laman Kompas.com.

Sejak kejadian itu, seluruh kru film “Pengkhianatan G30S/PKI” diberi semacam tanda pengenal. Dengan tanda pengenal tersebut, kru film ‘aman’ dalam menjalankan aktivitas.

Selain kesulitan di lapangan itu, Jajang menceritakan betapa sulitnya menggali informasi dari pihak PKI.

Jangankan mengaku sebagai anggota atau simpatisan PKI, kata Jajang, bertetangga dengan seorang PKI saja tidak ada yang mengaku.

“Waktu kami dulu (bikin film) tidak ada (anggota) PKI yang berani ngomong. Munculpun tidak berani. Mengakui bahwa saudara atau tetanggannya PKI pun tidak berani,” ucap istri Arifin C Noer itu.

Satu-satunya yang bisa ditemui adalah Sjam Kamaruzaman. Sosok Sjam ini sangat misterius, dan cukup membuat pusing Jajang sebagai pencatat adegan yang ingin menggali soal gesture DN Aidit.

“Kalau kami mau konfirmasi satu informasi, dia hanya bilang ‘Ya’. Kalau kamu mau bantah sesuatu, dia bilang ‘Saya tidak tahu’,” kata Jajang.

“Saya bertanya soal gestur Aidit. Tangannya ikut berbicara kah? Jidatnya naik turunkah? Dia bilangnya ‘Begitulah’. Lalu saya tanya apa Aidit merokok, dia bilang ‘Ya begitulah seperti biasanya orang merokok’,” kenangnya lagi.

Tak hanya kesulitan menemui saksi sejarah, atau sumber pertama, Jajang juga mengatakan saat itu belum banyak literatur yang bisa memberikan gambaran mengenai orang-orang PKI.

Buku-buku autobiografi tentang mereka masih sangat minim. Jajang yakin, apabila ada yang mau memproduksi film Peristiwa 1965 saat ini, prosesnya akan lebih mudah dari yang pernah mereka lakoni 34 tahun silam.

Selain waktunya juga lebih cepat karena teknologinya sudah canggih, biayanya pun bisa menjadi lebih murah. []

Related posts