Teuku Cik Di Tiro, Pahlawan Aceh yang buat Belanda kewalahan

Ilustrasi. (Atjehgallery.com)

(KANALACEH.COM) – Ketika Aceh Besar jatuh di tangan Belanda, Teuku Cik Di Tiro hadir untuk memimpin perang. Pada tahun 1881, ia berhasil merebut benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan membuat Belanda kewalahan.

Teuku Cik Di Tiro adalah pahlawan nasional dan tokoh penting yang berjasa melawan kolonial Belanda. Teuku Cik Di Tiro bernama asli Muhammad Saman. Ia lahir di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh pada tahun 1836 bertepatan dengan 1251 Hijriyah. Masa kecilnya dibesarkan dalam lingkungan agama yang taat.

Cik Di Tiro merupakan keturunan dari pasangan Teuku Syekh Ubaidillah dan Siti Aisyah. Salah satu cucunya adalah Hasan Di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka. Ia sangat dihormati karena ilmu dan keberaniannya melawan imperialisme dan kolonialisme.

Dalam meneguhkan ilmu agamanya, Cik Di Tiro banyak belajar kepada para ulama terkenal di daerah Tiro. Itu pula lah sebabnya ia dipanggil dengan sebutan Teuku (Teungku) Cik Di Tiro. Ia memang dikenal sebagai anak yang suka belajar agama dan mendalami ilmu-ilmu baru.

Ketika menunaikan ibadah haji di Mekkah, Saudi Arabia, ia terus memperdalam ilmu agamanya di Tanah Suci tersebut. Ia dibesarkan pada periode dimana Belanda berusaha menaklukkan bumi Aceh pada tahun 1873. Aceh Besar saat itu berhasil dikalahkan dan berada dalam kekuasaan colonial Belanda.

Ketika berada di Mekkah dalam rangka menunaikan haji, Cik Di Tiro juga belajar tentang cara-cara melawan kolonialisme dan imperialisme. Saat kembali ke Aceh, ia menjadi pemimpin pergerakan yang berujung pecahnya pertempuran melawan Belanda. Karena semangat juangnya, ia dijuluki sebagai Panglima Sabil atau pemimpin perang Sabil. Kesultanan Aceh mempercayainya sebagai pemimpin perang, dan perjuangan dilakukan atas dasar agama dan kebangsaan.

Ia dan pasukannya berhasil mengambil alih wilayah jajahan yang sebelumnya dikuasai Belanda. Pada tahun 1881, benteng Belanda di Indrapura berhasil direbutnya. Kemudian benteng Lambaro, Aneuk Galong, dan tempat lainnya.

Pulau Breuh pun mendapat serangan, dari situ pasukan Cik Di Tiro bermaksud merebut Banda Aceh. Kompeni Belanda jadi kewalahan dan daerah Aceh yang masih mereka kuasai tidak lebih dari empat kilometer persegi.

Perlawanan yang dilancarkan Teuku Cik Di Tiro dan pasukannya tak obahnya seperti singa. Mereka memilih roboh dalam nyala api yang membakar benteng daripada menyerah.

Belanda pun semakin terdesak dan hanya bertahan di dalam benteng di wilayah Banda Aceh. Untuk mempertahankan wilayahnya, Belanda terpaksa menggunakan taktik uni konsentrasi (concentratie stelsel), yaitu membuat benteng di sekelilingnya.

Merasa kewalahan dengan serangan Cik Di Tiro dan pasukannya, Belanda pun mendatangkan bala bantuan dengan perlengkapan perang dalam jumlah besar-besaran. Pada tahun 1873 Belanda melancarkan aksi balas dendam untuk merebut kembali daerah kekuasaannya.

Pada penyerangan pertama, pasukan Belanda melakukan aksinya namun dapat digagalkan. Perang tersebut memakan korban bagi pihak Belanda dengan tewasnya pimpinan mereka yaitu Mayor Jenderal Kohler.

Kegagalan ini membuat Belanda kian geram, akhirnya mereka memperkuat barisan pasukannya dengan tembakan meriam dari kapal perang yang berlabuh di pantai. Alhasil keadaan tersebut membuat pasukan Cik Di Tiro mulai mundur.

Kematian Cik Di Tiro
Belanda menyadari bahwa sumber semangat perjuangan Aceh kala itu ialah Teuku Cik Di Tiro. Untuk menghentikannya, Belanda pun mencari siasat untuk membunuh Panglima Sabil itu. Mereka tidak mau kehabisan akal. Karena merasa terancam, Belanda akhirnya memakai “siasat liuk” dengan mengirim makanan yang dibubuhi racun.

Cara licik itu dipergunakan Belanda untuk membunuh pahlawan kebanggaan rakyat Aceh itu. Mereka meracuni Teuku Cik Di Tiro dengan makanan lewat bantuan pekerja kerajaan. Ketika itu Belanda membujuk seseorang yang bersedia bekerja sama diangkat menjadi Kepala Sagi.

Mereka membayar seorang laki-laki yang ingin mendapat jabatan tinggi untuk membunuh Cik Di Tiro. Kemudian,laki-laki itu menyuruh seorang wanita memasukkan racun ke dalam makanan dan memberikannya kepada Cik Di Tiro.

Saat Teuku Cik Di Tiro mengunjungi Benteng Tui Seilimeung lalu salat di masjid. Setelah itu, perempuan tersebut datang menawarkan makanan. Perempuan ini merupakan suruhan laki-laki yang telah dibayar Belanda. Tanpa curiga sedikit pun, Cik Di Tiro menyantap makanan yang telah dibubuhi racun.

Akibatnya, pahlawan Aceh itu jatuh sakit dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir di Benteng Aneuk Galong pada bulan Januari 1891. Kemudian jasadnya dimakamkan di Meureu, Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar beserta istrinya, Teuku Mat Amin. Sejumlah pejuang Aceh serta orang dekat keluarga Tiro dimakamkan di Meureue, termasuk juga cucunya Hasan Tiro.

Walaupun Teuku Cik Di Tiro telah meninggal dunia, perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda terus bergelora. Peperangan melawan penjajah terus dilakukan sampai bertahun-tahun lamanya. Dan akhirnya Belanda baru bisa menguasai Aceh pada tahun 1904 dengan plakat pendeknya.

Selama Cik Di Tiro memimpin peperangan di Aceh, terjadi 4 kali pergantian gubernur Belanda yaitu, Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883), Philip Franz Laging Tobias (1883-1884), Henry Demmeni (1884-1886), Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891).

Untuk menghargai dedikasinya sebagai seorang pahlawan yang telah berjasa mempertahankan Tanah Air dari ancaman penjajah, ia mendapatkan penghargaan khusus dari pemerintah.

Kegigihan yang dilakukan oleh Teuku Cik Di Tiro dalam membela bangsa Indonesia membuat Pemerintah RI mengangkatnya sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan pada tanggal 6 November 1973. Pemberian gelar pahlawan tersebut sesuai dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 087/TK/Tahun 1973.

Di ibukota Jakarta, namanya diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat menggantikan nama Jalan Mampangweg. [Sindonews]

Related posts