Pengelola Sawmill Hakim Meriah belum terima salinan Keputusan Gubernur Aceh

Pengelola Sawmill Hakim Meriah belum terima salinan Keputusan Gubernur Aceh
Pimpinan Sawmill Hakim Meriah, Alwin Alfina. (Ist)

Redelong (KANALACEH.COM) – Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf resmi mencabut Izin Usaha Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) Sawmill Hakim Meriah di Kabupaten Bener Meriah melalui Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522/19/2018 tertanggal 25 Januari 2018.

Namun, pengelola Sawmill Hakim Meriah sampai saat ini belum menerima salinan dari Keputusan Gubernur Aceh tersebut.

Hal itu terungkap dalam keterangan tertulis yang disampaikan Pimpinan Sawmill Hakim Meriah, Alwin Alfina ST yang diterima Kanalaceh.com, Selasa (30/1) malam.

Alwin menjelaskan, Sawmill Hakim Meriah adalah usaha perseorangan/pribadi, bukan berbentuk badan usaha CV ataupun PT. Pendirian usaha sawmill dilatarbelakangi keprihatinan terhadap fakta pada tahun 2015 di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah tidak ada sawmill yang beroperasi.

Baca: Gubernur Aceh cabut izin usaha perusahaan kayu di Bener Meriah

“Sehingga patut diduga kayu yang beredar di pasaran berasal dari sumber tidak jelas dan tidak tertutup kemungkinan berasal dari hasil pembalakan liar,” jelasnya.

Dijelaskan Alwin, kondisi sulitnya pemenuhan kebutuhan kayu lokal saat itu dimanfaatkan oleh oknum tertentu. Maka, sebagai putra daerah ia merasa terpanggil untuk berinvestasi. Untuk mendukung kegiatan usaha tersebut, Alwin melakukan kontrak kerjasama pemenuhan bahan baku dengan H Mansyur (almarhum) sebagai pemilik lahan (hutan hak) ± 80 hektare di Kampung Blang Panu, Kecamatan Syiah Utama.

“H Mansyur sudah melakukan kewajiban untuk membayar hak negara melalui pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Lahan tersebut diperuntukkan untuk pertanian dan perkebunan, sudah ada pemukiman masyarakat, sekitar ± 13 hektare lahan sudah ditanamin kopi, durian, pepaya, pisang dan jenis pohon lainnya,” jelasnya.

Sepengetahuan Alwin, H Mansyur selaku pemilik hutan hak telah menempuh upaya-upaya untuk melaksanakan tata usaha kayu pada hutan hak sesuai aturan yang berlaku (Peraturan Menteri LHK No. 43 Tahun 2015 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Alam).

“Dalam proses yang ditempuh tersebut, pemilik lahan telah menyampaikan rencana penebangan kepada Kepala Dinas Kehutanan Aceh melalui surat nomor 06/V/2016 tertanggal 16 Mei 2016 dan tanggal 14 Desember 2016, perihal Pemberitahuan Rencana Penebangan dengan dilampiri salinan bukti kepemilikan/penguasaan tanah,” ungkapnya.

“Surat tersebut juga ditembuskan kepada Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Wilayah I Banda Aceh untuk memperoleh hak akses aplikasi SIPUHH (Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan),” lanjut Alwin.

Sejak diterbitkannya IUIPHHK Sawmill Hakim Meriah oleh Gubernur Aceh pada tanggal 18 April 2016, untuk memenuhi kewajiban (sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 09 Tahun 2012 tentang Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan Kayu), Alwin mengaku selaku pengelola sawmill telah menyampaikan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) Tahun 2016 dan tahun 2017 kepada Kepala Dinas Kehutanan Aceh.

“Kami menganggap Kepala Dinas LHK Aceh dan Gubernur Aceh telah melakukan kekeliruan, yaitu mencabut izin usaha IPHHK dengan melanggar norma dan standar yang berlaku,” jelas dia.

Dijelaskannya, menurut pasal 128 Qanun Aceh Nomor 7 Tahun Tahun 2016 Tentang Kehutanan Aceh, tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap pemegang izin pemanfaatan hutan, usaha industri primer hasil hutan dan peredaran hasil hutan dilakukan sesuai dengan norma dan standar yang ditetapkan Pemerintah Pusat.

Dalam hal ini, tegasnya, Pemerintah Pusat telah menetapkan norma dan standar terkait tata cara pengenaan sanksi adminisratif terhadap pemegang izin usaha industri primer hasil hutan kayu melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 17 Tahun 2009.

Lanjutnya, berdasarkan pasal 12 peraturan tersebut, pengenaan sanksi pencabutan didasarkan kepada hasil pemeriksaan tim yang dibentuk oleh Kepala Dinas Provinsi dan hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), apakah terbukti pemegang izin melakukan pelanggaran, Kepala Dinas Provinsi menerbitkan surat peringatan pertama hingga surat peringatan ketiga dengan selang waktu 30 (tiga puluh) hari.

“Sangat disesalkan, kami tidak pernah mendapat surat peringatan apapun terkait pencabutan izin,” imbuh Alwin.

Alwin mengatakan, dalam hal adanya dugaan pemegang izin melakukan pelanggaran berupa menadah, menampung, atau mengolah bahan baku hasil hutan yang berasal dari sumber bahan baku tidak sah (illegal) sebagaimana dituduhkan Gubernur Aceh, berdasarkan Pasal 13 Permenhut Nomor 17 Tahun 2009, seharusnya Kepala Dinas Provinsi meminta penyidik yang diutamakan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) unthk melakukan penyelidikan sesuai ketentuan yang berlaku.

Berdasarkan hasil penyelidikan, apabila ditemukan cukup bukti dugaan pelanggaran, dilanjutkan dengan penyidikan dan pemberkasan perkara. Penyidik mengusulkan kepada Kepala Dinas Provinsi untuk Pembekuan Sementara Operasional (PSO).

“Dalam hal ini dapat kami anggap bahwa Gubernur Aceh telah membuat tuduhan dan mencabut izin usaha Sawmill Hakim Meriah tanpa proses penyidikan dan bukti keputusan pengadilan,” ucap Alwin.

Menurutnya, selain diperlakukan tak sesuai ketentuan perundang-undangan, selama ini pihaknya juga merasa tidak mendapatkan hak-hak untuk memperoleh kepastian dalam menjalankan usahanya dan/atau mendapatkan pelayanan dan pembinaan teknis dari pemerintah, tak ada kepastian usaha/investasi di Aceh khususnya di Bener Meriah.

“Apa yang kami lakukan sebagai bentuk kepedulian dalam upaya memberi solusi terhadap permasalahan pemenuhan kebutuhan kayu lokal secara legal sama sekali tidak mendapat apresiasi dari pemerintah,” katanya.

Dia pun turut mempertanyakan sikap Gubernur Aceh yang hanya melakukan pencabutan izin usaha terhadap Sawmill Hakim Meriah. Disebutkannya, di Kabupaten Bener Meriah terdapat beberapa usaha sejenis, seperti CV. Barata Mandiri, KSU. Jingki Gayo, CV. Runding Bestari, CV. Pondok Indah, dan UD. Sinaku Furniture.

“Namun kami merasakan perbedaan perlakuan terhadap izin-izin usaha tersebut, sehingga menimbulkan kecurigaan-kecurigaan bahwa ada praktik pilih kasih dalam pembinaan usaha sawmill yang dipengaruhi faktor kedekatan dengan pejabat pemerintah tertentu,” akunya.

“Faktanya, sidak Gubernur Aceh didampingi oleh Bupati Bener Meriah yang dilakukan sebagai tindak lanjut dari laporan Bupati Bener Meriah sebelumnya beraroma tendensius karena hanya mengarah ke lokasi Sawmill Hakim Meriah saja. Padahal dalam perjalanan menuju ke Sawmill Hakim Meriah, tim Gubernur Aceh melewati beberapa usaha sawmill lainnya dengan kapasitas relatif lebih besar, namun seperti luput dari perhatian tim,” lanjut Alwin. [Aidil/rel]

Related posts