Bukti toleransi beragama di Aceh

Bukti toleransi beragama di Aceh
Ratih Puspasari (20) dan Nabila Wulandari (18) memainkan simbal mengiringi musik tarian barongsai di di Vihara  Budha Sakyamuni, Peunayoung, Banda Aceh, Jumat (16/2) pada perayaan Imlek. (Kanal Aceh/Randi)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Meski dijuluki sebagai daerah yang memiliki peraturan Syariat Islam yang ketat, bukan berarti Provinsi Aceh tertutup dengan segala jenis etnis. Menjujung tinggi toleransi antar umat beragama menjadi salah satu hal yang begitu nyata di provinsi berjuluk Serambi Mekkah ini.

Hal itu terlihat ketika perayaan Imlek yang menyajikan permainan barongsai. Tim yang tergabung dalam Federasi Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI) juga bukan hanya berasal dari mereka warga keturunan Tionghoa. Tetapi, juga warga Aceh yang masuk dalam skuat FOBI Aceh.

Dari belasan pemain barongsai, sejak 2013 lalu ada tujuh anak Aceh bergabung dengan Dragon Golden, yang awalnya di bawah binaan Yayasan Hakka Aceh dan kini telah menjadi atlet FOBI Aceh.

Dari tujuh pemain barongsai etnis Aceh tersebut, yang selalu menjadi pusat perhatian adalah Ratih Puspasari (20) dan Nabila Wulandari (18). Mereka bukan keturunan etnis Tionghoa, melainkan remaja muslimah Kota Banda Aceh yang menjadi pemain simbal.

Dari pantauan, mereka cukup bersemangat, tak ada rasa canggung sedikitpun dalam memainkan alat musik simbal dan mengikuti hentakan gong untuk mengiringi tarian barongsai.

Pengiring musik tarian barongsai di di Vihara Budha Sakyamuni, Peunayoung, Banda Aceh, Jumat (16/2) pada perayaan Imlek. (Kanal Aceh/Randi)

Dua gadis Aceh itu mulai tertarik barongsai saat perayaan Waisak 2013. “Waktu itu kami melihat barongsai, lalu ingin ikut. Akhirnya kami masuk menjadi pemain Dragon Golden,” ujar Ratih Puspasari usai beraksi bermain Barongsai, di Vihara Budha Sakyamuni, Peunayoung, Banda Aceh, Jumat (16/2) pada perayaan Imlek.

Ratih melihat barongsai adalah suatu atraksi hiburan yang unik dan seru. Kemudian ia muncul keinginan untuk bisa terlibat dan memainkan salah satu alat musik di dalamnya.

Pada 2013 lalu Ratih meminta izin kepada kepada kedua orang tuanya untuk bergabung. Setelah diizinkan, ia pun mendaftarkan diri dan ikut latihan bersama teman-teman anak etnis Tinghoa lainnya.

“Sekarang sudah menjadi hobi. Suka aja karena seru rasanya apalagi ini juga termasuk olahraga,” kata Ratih.

Sementara, Nabila Wulandari (18), ia baru bergabung selama enam bulan lalu, ia tertarik ingin bergabung karena terinspirasi dari Ratih yang sudah sejak lama bergabung dan tetap berpenampilan muslimah.

“Pertamanya takut tapi karena lihat kak Ratih jadi kepengen coba,” ujarnya.

Apalagi, kata dia, orang tuanya selalu datang menyaksikan penampilannya dan memberi semangat. “Kalau orang tua mengizinkan sih. Ia selalu ingatkan kami tidak boleh melupakan agama. Kalau budaya silakan belajar, tapi tidak boleh mengikuti ajaran agama karena kami muslim,” ucapnya.

Ketua FOBI Aceh, Kho Khie Siong yang kerap disapa Aky mengatakan, ia tidak pernah membatasi pemain barongsai hanya dimainkan oleh etnis Tionghoa. Siapa pun, bisa memainkannya.

Ia mengakui, masih ada anggapan barongsai merupakan ritual ibadah. Padahal, ini sebuah seni budaya Tiongkok. Namun, saat ini masyarakat Aceh sudah paham sehingga mengizinkan anak-anak terlibat sebagai tim barongsai.

Ia selalu mengingatkan tim barongsai Dragon Golden agar memperhatikan waktu. Seperti, saat waktu salat, permainan harus dihentikan. “Jangan sampai ibadah terganggu. Ini sangat penting, ibadah harus diutamakan,” tuturnya. [Randi]

Related posts