Puluhan tahun menyelamatkan Nazam Aceh

Teungku Ismail Daud atau Cut `E sambil memperlihatkan nazam salinan Syekh Andid sebanyak 328 halaman, generasi sebelum Cut `E. Ia sudah 45 tahun mempertahankan dan membaca Nazam Aceh. (Kanal Aceh/Fahzian Aldevan)

HARI Sabtu (17/2) lalu jarum jam menunjukkan pukul 11.15 WIB, sepuluh meter di depan, lelaki paruh baya berdiri sambil tersenyum seakan sudah menunggu kedatangan kami. Teungku Ismail Daud namanya. Ia salah satu yang melestarikan Nazam Aceh.

“Nazam merupakan kumpulan dari beberapa kitab yang ditulis kembali dalam bentuk bahasa Aceh dengan tulisan Arab Melayu,” kata Cut `E, panggilan akrab Teungku Ismail saat memulai percakapan beberapa waktu lalu.

Di rumah milik Cut `E yang setengah terbuat dari papan itu tepatnya di Tanjong Dayah, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, Kanalaceh.com mulai menelusuri berbagai kisah dan pengalaman Teuku Ismail dengan Nazamnya.

Pria kelahiran 1951 mengaku sudah 45 tahun membaca Nazam, menurutnya Nazam itu merupakan ilmu yang sangat berguna apalagi di Nazam banyak mengajarkan tentang ajaran agama Islam.

“Nazam juga disebut berbagai sifat dan akhlak yang di anjurkan dalam Islam,” kata Ayah dari enam anak itu.

Cut `E begitu semangat menceritakan sejarah Nazam yang hari ini sudah sangat sedikit bahkan nyaris punah keberadaan dan penerusnya. Cut `E menceritakan Nazam yang sering ia bacakan ialah Nazam Syekh Abdussamad atau Teungku Di Cucum dengan judul asli “Akhbarul Na’im” (Kabar Yang Nikmat) yang ditulis pada tahun 1269 Hijriah.

Secara umum, isi Nazam Teungku Di Cucum merupakan nasehat bagi umat Islam sepanjang hayatnya, misalnya sejak dalam kandungan, lahir ke dunia, usia anak-anak, remaja, kawin-kawin, beranak-bercucu, berumur hingga sampai meninggal dunia.

Salah satu salinan nazam dari tangan Markam Hasan (91) atau lebih dikenal (Pak Lek), pensiunan tentara tahun 1982 ini merupakan pembaca dan sekaligus penulis (Penyalin) nazam. sudah Puluhan Nazam yang ia salin. (Kanal Aceh/Fahzian Aldevan)

“Baru setengah saja sudah 67 masalah. Misalnya tentang pernikahan sudah lengkap dan sangat detail dijelaskan,” sebutnya sambil membacakan sedikit isi Nazam Teungku Di Cucum.

Pembacaan Nazam, katanya, dilakukan seperti saat akan mengkhitankan anak, menunaikan nazar, hari Israk Mikraj dan menyambut bulan suci Ramadhan. Biasanya pembacaan Nazam berturut-turut 4-6 malam.

“Pembacaan Nazam berbeda dengan ceramah, sebab kalau sudah dibaca pasti harus dihabiskan,” katanya sambil memperlihatkan Nazam salinan Syekh Andid sebanyak 328 halaman, generasi sebelum Cut `E.

Ia menilai generasi saat ini banyak yang tidak tertarik terhadap Nazam karena kurangnya pengenalan. Selain itu ia juga menyayangkan generasi sekarang tidak peka terhadap peninggalan sejarah Aceh khususnya Nazam itu sendiri.

“Sekarang banyak yang tidak bisa membaca bahasa Arab, bahasa Arab kan karakter mengaji, kalau orang pandai mengaji pasti bisa membaca Nazam,” ujarnya mengkondisikan masanya dengan perkembangan sekarang.

Walaupun sudah puluhan tahun menyelamatkan Nazam, Cut `E mengaku sampai saat ini tidak ada perhatian dan dukungan dari Pemerintah. Sebab jika tidak diselamatkan maka akan punah dengan seiring waktu.

“Tidak, kalaupun ada sedekah dari orang yang mengundang saya membacakannya, mudah-mudahan Pemerintah peduli dengan Nazam,” harapnya.

Sementara itu, Dosen Sejarah, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, Teuku Abdullah mengatakan isi di dalam Nazam itu sendiri adalah syair-syair tentang agama Islam.

“Jadi Nazam itu lebih ke agama, dalam Nazam banyak hal yang diceritakan ada tentang ajaran Fikah (Kitab) kemudian tentang masalah hadits-hadist Nabi, kisah perjalanan nabi. Cerita agama itulah nazam,” kata T.A Sakti panggilan akrab Teuku Abdullah yang ikut mengunjungi di kediaman Teuku Ismail Daud (Cut `E) beberapa waktu yang lalu.

T.A Sakti, peminat budaya dan sastra Aceh itu juga mengungkapkan selain nazam ada satu jenis lagi yang sama menceritakan tentang agama, yakni Tambeh. “Tapi saya melihat kalau tambeh lebih banyak ayat-ayat Alquran,” kata pria kelahiran 1954 ini.

Teuku Abdullah Sulaiman, atau T.A. Sakti adalah peminat budaya dan sastra Aceh. selain itu juga sebagai penyalin dan pembaca hikayat Aceh. (Kanal Aceh/Fahzian Aldevan)

Menurut T.A, diantara Nazam, Hikayat dan Tambeh yang paling cepat menghilang ialah Tambeh. “Karena lebih sukar, untuk menulis pun juga sangat sulit. Sedangkan Nazam hanya isi agama dengan bahasa Aceh yang ditulis dengan bahasa Melayu, jadi sebenarnya lebih enak Nazam,” jelas pria yang hobi menulis ini.

Nazam Aceh nyaris punah

Teuku Abdullah, menilai peminat tentang Nazam Aceh saat ini sangat berkurang bahkan nyaris punah. Hal ini disebabkan dengan perkembangan zaman, ia membandingkan Aceh tempo dulu dengan kondisi Aceh sekarang. Nazam di samping sebagai pembelajaran agama juga menjadi hiburan.

“Disini juga ada lucu-lucunya sedikit, tapi karena sekarang hiburan sudah banyak sekali, seperti internet, televisi, majalah, radio itu membuat orang membaca semakin sedikit. Kalau dulu orang Aceh hidup dengan hikayat siang malam orang Aceh selalu membaca hikayat,” kata T.A sembari menunjukan beberapa hikayat dan nazam yang ia bawakan.

Waktu dulu, sambung dia, setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat selalu diminta untuk membacakan hikayat, misalnya di pesta kawin, maulid Nabi, pesta panen, membaca hikayat. Namun berbeda dengan nazam, nazam tersebut lebih dekat dengan agama.

“Nazam itu lebih kepada pengajian, syair, tapi kalau hikayat lebih bersifat umum, makanya nazam sampai hari ini sudah sangat jarang dan sangat sedikit penerusnya,” tutur T.A Sakti.

Sejak tahun 1992 menekuni bidang ini, T.A Sakti menilai, Nazam yang paling lengkap ialah Tambeh Tujoh Blah karangan Teungku Di Cucum. Sebab isi didalam Tambeh Tujoh Blah sangat mendetail.

“Kalau nazam lain hanya bersifat umum, misalnya membahas tentang haram, haram seperti apa tidak dijelaskan, tapi kalau disini, (Tambeh Tujoh Blah) sangat detail orang sampai paham,” katanya.

T.A Sakti menambahkan bahwa, Nazam ini bukan hanya di Aceh Besar namun menyebar di seluruh Aceh. Selain itu, T.A mengatakan dari puluhan Nazam yang ia bacakan, yang paling menarik ialah tentang kisah anak kecil yang menceritakan betapa susahnya orang tua mulai dari mengandung hinga sampai dewasa.

“Sifat anak ini berkembang bermacam-macam, kasih sayang ibu dan upaya ibu membesarkan itu panjang ceritanya,” kisahnya sambil tertawa.

Nazam ini merupakan kumpulan dari belbagai kitab, baik itu Arab maupun kitab Jawi. “Intinya kalau kita berpatokan sumbernya dari Alquran dan Hadits,” sebut T.A Sakti.

Untuk penulis dan pembaca sekarang nazam nyaris mati, bahkan sejak 1960-an Nazam sudah sangat sedikit generasinya. “Karena itu saya merasa ini sangat penting untuk diperhatikan oleh pemerintah Aceh, khususnya pemerinta Aceh Besar,” harapnya.

Ia meminta perlu melaksanakan sesuatu terobosan untuk mempertahankan nazam peninggalan orang Aceh ini. Misalnya dengan membuat lomba membaca Nazam dalam setahun sekali, baik itu tingkat Desa, Kecamatan maupun Kabupaten.

“Setidaknya Nazam ini akan bertahan, walaupun tak semaju dulu, ini karena zaman sudah berubah, setidaknya nazam ini tidak punah,” harap T.A yang telah puluhan tahun memperjuangkannya.

Paling kecil dan rendah, kata dia, ialah adanya penerus pembaca Nazam. Ia juga Pemerintah Aceh Besar agar jangan meninggalkan Nazam tersebut. “Nazam butuh perhatian khusus, karena isinya sangat baik untuk ajaran agama, dan nasehat,” ungkapnya.

Markam Hasan (91) atau lebih dikenal (Pak Lek), pensiunan tentara tahun 1982 ini merupakan pembaca dan sekaligus penulis (Penyalin) nazam. sudah Puluhan Nazam yang ia salin. (Kanal Aceh/Fahzian Aldevan)

Susahnya mencari penyalin dan pembaca Nazam

Matahari makin menyengat siang itu, lalu lalang kendaraan yang melintas di jalan raya tak menyurutkan semangat T.A Sakti yang tak begitu sehat yang setiap saat, langkahnya harus dipapah dengan bantuan orang sebelahnya. Keinginan dan perjuangannya dalam mempertahankan nilai dan budaya Aceh tak sekuat dengan kondisi fisiknya lagi.

Setelah 45 menit di tempat Teuku Ismail, T.A Sakti bersama rombongan lansung menuju ke Makam Syekh Abdussamad atau yang lebih di kenal Teungku Di Cucum, (1269 Hijriah) Di Gampong Cucum, Kecamatan Kuta Baro, Kabupaten Aceh besar.

Selanjutnya rombongan bersama T.A Sakti menuju kediaman, Haji Abdurahman, (70), pria kelahiran 10 juni 1948, Gampong Lamcie, Kecamatan Kuta Baroe, Aceh Besar mengatakan sudah membaca nazam selama 20 tahun. Dari dulu hingga sekarang, yang paling tertarik dirinya terhadap Nazam ialah sebelum kejadian orang yang menulis sudah memprediksi atas kejadiannyanya

“Begitulah tinggi agama bagi orang-orang yang menulis nazam,” katanya beberapa waktu lalu.

Pensiunan penjaga Sekolah Dasar ini hingga sudah mulai sakit-sakitan namun cara ia mempertahankan nazam tidak mati ditelan masa ialah dengan setahun sekali membaca di Masjid.

“Membaca nazam 5-6 malam di masjid setahun sekali menjelang bulan Maulid Nabi, karena di Nazam banyak yang menceritakan kisah maulid. Seperti Nazam Kitab Aqkbarul Naim, menceritakan kenikmatan tuhan dalam Islam dari lahir hingga menuju kematian,” ceritanya siang itu.

Waktu kian melaju, tak terasa jarum jam sudah menunjukan pukul 14.37 WIB, sesekali T.A Sakti menekan tongkatnya dengan kuat, tampak ia mulai merasakan kelelahan, namun ia tak memberitahu kepada rombongan, saat itu juga ada satu tempat lagi akan dituju, yakni penulis dan pembaca nazam.

Sekitar 25 menit, T.A Sakti bersama rombongan sampai di lokasi rumah penulis nazam di Gampong Meunasah Intan, Kecamatan Krueng Barona Jaya. Disana tampak lekaki yang sudah beruban berbaring diatas tempat tidur, ia adalah Markam Hasan (91) atau lebih dikenal Pak Lek, pensiunan tentara tahun 1982 ini merupakan pembaca dan sekaligus penulis (penyalin) nazam. Namun sayang tak banyak yang ia buat saat ini dikarenakan dengan kondisinya.

“Pembaca dan penyalin bukan hanya untuk diri sendiri tapi untuk orang lain juga,” kata Yusnidar anak bungsu Markam Hasan yang mendampinginya.

Yusnidar menceritakan bahwa selama Ayahnya bertugas bahwa saat pensiunan, ayahnya sering menghabiskan waktu untuk menulis Nazam baik itu dalam bahasa Arab Jawi maupun bahasa latin.

“Puluhan nazam sudah Ayah salin,” kata Yusnidar mantan anak kapten tersebut. [Fahzian Aldevan]

Related posts