Banyaknya warga Aceh miliki obligasi, PNA: Pemerintah harus berlaku adil

Banyaknya warga Aceh miliki obligasi, PNA: Pemerintah harus berlaku adil
Dokumentasi - Surat hutang atau obligasi yang dimiliki oleh Nyak Sandang. (Kanal Aceh/Randi)

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Dalam beberapa minggu terakhir, masyarakat Aceh diramaikan oleh informasi kepemilikan surat pernyataan utang/pinjaman oleh negara atau Obligasi dari seorang warga Lamno, Aceh Jaya yang dimiliki Nyak Sandang.

Obligasi yang memiliki nilai nominal Rp 100 tersebut disebut-sebut merupakan pinjaman Pemerintah RI untuk membiayai pembelian Pesawat RI 001.

Belakangan Nyak Sandang di undang oleh Presiden Jokowi ke Istana Negara. Ia dijanjikan dapat naik haji pada tahun ini juga. Sebelum berhaji, Nyak Sandsng ditawarkan untuk umrah terlebih dahulu.

Bahkan Presiden Jokowi meminta tim dokter kepresidenan dan para dokter spesialis di RSPAD Gatot Subroto untuk memberi cek kesehatan kepada Nyak Sandang.

“Itikad baik dari Bapak Presiden Jokowi patut kita apresiasi. Pak Jokowi telah menunjukkan sikap bahwa negara hadir untuk menghargai sumbangsih Nyak Sandang kepada Republik ini,” kata Ketua DPP Partai Nanggroe Aceh (PNA), Samsul Bahri alias Tiyong dalam siaran persnya, Selasa (27/3).

Tiyong menambahkan, namun dalam beberapa hari ini, banyak warga Aceh lainnya yang mengaku menunjukkan bukti kepemilikan dokumen yang sama dengan Nyak Sandang. Malah nilai nominal dari sejumlah obligasi yang mereka tunjukkan jauh lebih besar dibandingkan milik Nyak Sandang.

“Ada yang Rp 1.500, Rp 4.500, bahkan ada yang Rp 8.600,” sebut Tiyong.

Untuk itu, PNA berharap agar Pemerintah RI dapat berlaku adil kepada semua pemilik obligasi tersebut. Semuanya harus mendapat perhatian yang sama.

“Tak boleh terhenti hanya pada Nyak Sandang seorang. Kalau itu terjadi, kita khawatir akan memantik kecemburuan dan rasa ketidakadilan bagi pemegang obligasi lainnya. Jangan sampai kasus ini berujung dengan gugatan kepada pemerintah,” kata Tiyong.

Bila perlu, sambungnya, Pemerintah Aceh berinisiatif membuka saluran pengaduan dan melakukan upaya pendataan. Agar para pemilik obligasi dapat dikelola secara terorganisir.

Kemudian Pemerintah Aceh dapat meneruskan aspirasi para pemilik obligasi kepada Pemerintah Pusat.

“Kompensasi seperti apa yang diinginkan oleh pemilik obligasi. Tentu dapat dirumuskan bersama. Kemudian baru dinegosiasikan dengan Pemerintah Pusat,” jelasnya.

Terkait informasi bahwa penerbitan obligasi tersebut untuk membiayai pembelian pesawat RI 001, Tiyong menilai sejauh ini belum dapat terkonfirmasi kebenarannya. Sejarah mencatat, Soekarno datang ke Aceh dan meminta kepada Tgk Daud Beureueh agar masyarakat Aceh membeli sebuah pesawat untuk Republik Indonesia pada Juni 1948.

“Pembelian pesawat itu sendiri dilakukan pada Oktober 1948. Bahkan pada November 1948, Wakil Presiden Moh Hatta telah berkunjung ke Kutaraja dengan menggunakan pesawat jenis DC 3 Dakota tersebut. Sementara dokumen obligasi yang dipegang para ahli waris saat ini, umumnya tercatat diterbitkan pada tahun 1950,” kata Tiyong

Namun, kata Tiyong, bukan berarti surat pinjaman tersebut bukan dokumen asli yang dikeluarkan oleh negara. Bisa saja surat obligasi tersebut baru diserahkan 2 tahun kemudian setelah dananya dikumpulkan pada tahun 1948.

“Kemungkinan lainnya, masyarakat saat itu memang membeli obligasi tersebut dari pemerintah. Namun dalam pemahaman awam, itu adalah bentuk sumbangan untuk negara. Mengingat pada awal-awal kemerdekaan, Soekarno sangat gencar menerbitkan surat utang untuk membiayai jalannya pemerintahan dan pembangunan,” katanya.

Terlepas dari semua hal diatas, PNA mendorong Pemerintah RI agar merespon dengan cepat terkait hak-hak para pemilik obligasi tersebut. Adalah kewajiban negara untuk melunasi hutang pemerintah kepada warganya yang telah berjalan hampir 70 tahun.

“Pemerintah harus membuka mata, ternyata ada banyak Nyak Sandang – Nyak Sandang lainnya yang sedang menanti perhatian yang sama,” ujar dia. [Aidil/rel]

Related posts