Menjernihkan Hati

(Sriwijayapost.com)

(KANALACEH.COM) – Kegiatan yang mendalami spiritualitas tak pernah lekang oleh waktu. Kapan pun aktivitas tersebut selalu ada dan menjadi daya tarik masyarakat. Setelah jenuh dengan aktivitas keduniaan yang `menipu’, temporal, dan fana, mereka beralih mendekati Yang Abadi, Sang Pencipta.

Kitab Kifayatul Atqiya menjadi salah satu rujukan aktivitas spiritual berdasarkan Islam (tasawuf/sufisme). Kitab yang tersebar sekitar abad ke-18 di Timur Tengah ini menjadi bacaan pelajar Indonesia di Tanah Suci. Mereka kemudian membawanya ke Tanah Air dan mengajarkannya kepada khalayak.

Hingga detik ini, kitab tersebut menjadi bahan pelajaran di banyak pesantren. Turos tersebut menjelaskan beberapa hal. Pertama ada lah penjelasan tentang makna kalimat bismillah yang tidak hanya literal, tapi juga batin. Penjelasan itu didasari pengalaman spiritual para sufi, sangat dalam.

Bagian berikutnya adalah tentang jalan menuju Allah. Hal itu terangkum dalam sembilan nasihat (al-washaya at-tis’a). Pertama ada lah tobat. Ini adalah permulaan. Seseorang ha rus mengakui dosa-dosanya dan memohon ampunan kepada Ilahi.

Kedua adalah merasa cukup atau kanaah. Tidak perlu berlebihan. Apa yang diberikan, yang dimiliki, sudah cukup untuk menjalani kehidupan. Dengan merasa cukup, orang akan selalu bersyukur, sehingga penuh dengan kebahagiaan.

Ketiga adalah zuhud. Ini adalah sikap untuk tidak mementingkan kehidupan dunia yang sementara. Fokusnya adalah akhirat, akhir tujuan kehidupan ini. Hidup dengan zuhud membuat seseorang berpikir jauh, tidak semata- mata untuk dunia. Semangatnya adalah memberi yang terbaik, jauh dari bakhil, dan lebih mengedepankan kemaslahatan orang banyak.

Keempat adalah mempelajari syariat. Seseorang harus memahami ilmu tentang per ibadatan. Ini merupakan etika seseorang me nyembah Sang Pencipta. Kelima adalah memelihara amalan sunah. Tak berhenti pada yang wajib, seseorang harus melanjutkan ibadahnya dengan mengerjakan amalan sunah. Cara ini merupakan acuan jika ingin menggapai ridha Ilahi.

Keenam adalah tawakal atau berserah diri kepada Allah. Manusia hanyalah mampu berusaha. Selebihnya adalah kuasa Tuhan. Sebaik dan sekuat apa pun upaya seseorang, belum tentu menggapai hasil yang diinginkan. Allah yang mengetahui dan menghendaki ke mana seseorang harus mengarah.

Ketujuh adalah ikhlas. Sikap ini sering diajarkan dalam pelajaran akidah dan akhlak di madrasah. Sederhana kelihatannya, tapi belum tentu setiap orang mampu mengerja kannya. Ikhlas itu melepaskan sesuatu tanpa memikirkannya, seperti seseorang membuang `hajat’ setiap hari. Dia tak pernah memikirkan lagi ke mana kotoran yang dibuangnya pergi. Orang yang bersedekah pun demikian, dia tak pernah memikirkan ke mana barang yang sudah disedekahkan pergi. Dia biarkan itu pergi jauh darinya, dimanfaatkan kaum lemah (dhuafa)untuk kemaslahatan mereka.

Kedelapan adalah uzlah. Artinya, menyendiri dalam ibadah. Sikap ini sesekali harus dilakukan untuk memfokuskan diri kepada Allah. Kifayatul Atqiyamenjelaskan orang yang melakukan perbuatan ini hanya membaur dengan masyarakat dalam beberapa hal, seperti shalat Jumat dan shalat hari raya. Selebihnya, dia `menyeburkan’ diri dalam kesendirian bermunajat kepada Allah. Ritual ini sangat tepat disemarakkan ketika kehidupan penuh dengan kezaliman; hukum tak ditegakkan dengan adil, penguasa zalim menduduki kursi kekuasaan, dan berbagai kezaliman yang berasal dari nafsu angkara murka.

Terakhir adalah memelihara waktu. Allah menjelaskan betapa manusia merugi, karena mereka tak menghargai waktu. Mereka membuang waktu dengan berbuat keburukan, sementara orang beriman memanfaatkannya untuk berbuat baik dan berlomba-lomba berbuat baik. Pepatah Arab mengatakan, waktu seperti pedang. Jika tidak memotongnya, maka dia akan memotong Anda.

Selain sembilan nasihat di atas, Kifayatul Atqiyajuga menjelaskan obat penenang hati, adab membaca Alquran, ilmu dan ibadah, serta penjelasan tentang ulama. [Republika.co.id]

Related posts