Bawakan monolog Cut Nyak Dien, ini pesan Ine Febriyanti

viva.co.id

Jakarta (KANALACEH.COM) – Artis peran Ine Febriyanti sukses menggambarkan karakter Cut Nyak Dhien dalam pentas monolognya di gedung kesenian Cak Durasim Surabaya, Jawa Timur, baru-baru ini. Kecamuk sedih, cinta, benci, dan jiwa berontak Cut Nyak Dhien mampu diringkus Ine ke dalam satu makna: perempuan selalu merdeka.

Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, pada 1848, dan dibesarkan dalam keluarga bangsawan yang taat beragama. Ayahnya, Teuku Nanta Sautia, adalah seorang uleebalang keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau Minangkabau. Di tengah keluarga bangsawan itu, ia tumbuh sebagai putri cantik.

“Aku menikah dalam usia muda,” kata Cut Nyak Dhien diucapkan Ine si pemeran monolog. Ia menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga pada 1862, tepatnya di usia 12 tahun. Selama bersama Teuku Ibrahim, Cut Nyak Dhien digambarkan sebagai pendorong kuat perang perlawanan suami dan pasukannya melawan penjajah Belanda di Aceh.

Teuku Ibrahim gugur dalam perang. Benci Cut Nyak Dhien terhadap penjajah kian membuncah. Di tengah nyala semangat membalas dendam, muncul sosok pria pemberani. Dialah Teuku Umar. Singkat cerita, keduanya menikah. Bersama Teuku Umar, Cut Nyak Dhien ikut turun ke medan pertempuran. Hingga pada satu ketika, Teuku Umar gugur jua karena intrik pengkhianat. 

Cut Nyak Dhien pun meratap. “Dua kali sudah aku kehilangan lelaki yang aku cintai di medan perang. Dua kali sudah lelaki pemberaniku pergi. Umar… Bahkan aku tak sampai melihat wajahmu untuk terakhir kalinya. Allah bersamamu, Umar,” sedih Cut Nyak Dhien dalam monolog Ine itu.  [viva.co.id]

Related posts