GeRAK Aceh: 5 perusahaan tambang diduga belum punya IPPKH

Ilustrasi tambang emas. [mongabay.co.id]

Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Beberapa perusahaan pertambangan yang berada di kawasan hutan Aceh diduga belum semuanya mempunyai dokumen Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menduga ada lima perusahaan pertambangan yang berada di kawasan hutan tidak memiliki dokumen IPPKH. Hal itu disampaikan sesuai dengan hasil kajian dan analisis terhadap perusahaan yang masih memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) aktif hingga saat ini.

Kepala Divisi Advokasi GeRAK Aceh, Hayatuddin Tanjung mengatakan berdasarkan kajian yang dilakukan pihaknya melihat hanya dua perusahaan di kawasan hutan yang mempunyai dokumen IPPKH, sedangkan lima perusahaan lainnya diduga belum memiliki dokumen izin pinjam pakai tersebut.

“Dari tujuh perusahaan tambang yang izinnya berada di kawasan hutan, hanya dua perusahaan memiliki IPPKH, dan lima perusahaan kita menduga tidak memiliki dokumen IPPKH,” kata Hayatuddin Tanjung dalam rilisnya, Selasa (26/6).

Hayatuddin menyebutkan, adapun perusahaan yang memiliki IPPKH tersebut yakni PT Tambang Indrapuri Jaya dan PT Estamo Mandiri.

Sedangkan, lanjut Hayatuddin,  lima perusahaan tambang yang diduga belum mempunyai dokumen IPPKH itu antara lain PT Takengon Mineral Resort seluas 19.500 Hektare (Ha) di hutan lindung dan 2.600 Ha di hutan produksi, PT Bara Adi Pratama, di Aceh Barat dengan 80 Ha berada di hutan lindung.

Kemudian, PT Bumi Babahrot di Abdya, seluas 5,5 Ha berada dalam hutan lindung, KSU Nikmat Sepakat di Aceh Selatan 2,53 Ha di hutan lidung dan PT Organik Semesta Subur di Subulussalam seluas 53,92 Ha di hutan lindung, lalu 5.068,48 Ha di hutan produksi.

Hayatuddin menyampaikan, jika benar perusahaan tambang itu tidak memiliki IPPKH, maka sudah melanggar ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Pasal 134 Ayat 2 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dimana kegiatan pertambangan tidak bisa dilaksanakan ditempat yang dilarang untuk melakukan usaha pertambangan sebelum memperoleh izin dari intansi pemerintahan.

Kemudian dikuatkan lagi dengan pasal 50 Ayat 3 huruf (g) Jo Pasal 38 ayat 3 UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dimana setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum, ekplorasi atau ekploitasi bahan tambang di kawasan hutan tanpa melalui pemberian IPPKH oleh menteri kehutanan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu.

Hayatuddin menuturkan, perusahaan yang tidak memiliki IPPKH bisa diberikan saksi administrasi yaitu berupa pencabutan izin oleh Menteri atau Gubernur sesuai dengan UU minerba pada Pasal 119.

Kemudian, juga bisa mendapatkan sanksi pidana sebagaimana yang disampaikan dalam Pasal 78 Ayat 6 UU Kehutanan, yaitu kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan yang tidak memiliki IPPKH dapat dihukum dengan hukuman kurungan maksimal 10 tahun atau denda sebesar Rp 5 miliar.

“Karena itu jika perusahaan pertambangan tidak memiliki IPPKH seharusnya tidak boleh beroperasi,” tuturnya.

Dengan adanya persoalan tersebut, Hayatuddin menilai, kondisi ini dapat menjadi salah satu pertimbangan Gubernur Aceh untuk memperpanjang Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 05/INSTR/2017 tentang moratorium Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam dan Batubara yang sudah berakhir pada 15 Juni 2018 lalu.

“Ingub moratorium pertambangan tersebut penting dilanjutkan oleh gubernur agar bisa mengevaluasi seluruh IUP yang ada demi perbaikan tata kelola hutan dan lahan di Aceh,” pinta putra asli Aceh Tamiang itu. [Randi/rel]

Related posts