Catatan ODP: Tenang, Isolasi, Periksa

Ilustrasi. (Foto: Kronologi.id)

Saya melaporkan ke atasan kantor saya. Atas koordinasi atasan, seorang dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) lewat satuan tugas (satgas) Covid-19 menelpon saya agar memeriksakan ke Poliklinik Covid-19 di gedung lama RSUZA atau Laboratorium Infeksi Fakultas Kedokteran Unsyiah melalui PCR didahului rapid test. Setelah berdiskusi dengan istri, saya memilih opsi kedua.

Sehari berselang, tepatnya tanggal 03 April, saya menelpon kembali Satgas Covid-19 Unsyiah guna mengkonfirmasi pemeriksaan rapid test yang berlanjut ke PCR (jika positif). Saya bergegas ke Unsyiah, sesampai di Laboratorium Infeksi, saya mendapat telpon dari Satgas Unsyiah kalau jadwal saya di siang hari.


Sembari menunggu waktu siang, saya singgah di Mesjid Jamik Unsyiah. Saat itu hari Jumat, saya teringat biasanya jelang jumat, mesjid ini ramai dikunjungi jamaah. Namun, dampak Covid-19 yang mulai mengintai Aceh, mesjid ini termasuk yang meniadakan sholat berjamaah termasuk sholat jumat di Banda Aceh.

Sedih juga kendati Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa untuk ini. Mudah-mudahan wabah mematikan ini segera berlalu dan kita dapat beribadah berjamaah kembali.

Sejenak saya teringat kalau dinyatakan positif Covid-19, saya belum siap mental untuk segera diisolasi di rumah sakit. Hal yang prinsipil tentu berat berpisah dengan keluarga. Kalau menjalani isolasi, kita berada sendiri di dalam ruangan sebesar kamar kost saya saat tugas belajar.

Tidak ada yang menemani dan kunjungan keluarga dalam rentang dua minggu. Bagaimana pula dengan penanganan medis di sana nantinya. Bagaimana nasib orang-orang yang berinteraksi dengan saya. Bagaimana penilaian orang-orang kampung.

Seketika saya panik, teringat wejangan kolega saya bapak Zulkarnain Jalil saat diskusi peluang terinfeksi Covid-19, beliau menyampaikan untuk tetap tenang sambil berzikir dengan lafadz Subhanallah, Alhamdulillah, Laa haula wala quwwata illa billah, Allahu Akbar tarik nafas, tahan dan lepas.

Saya teringat bagaimana kalau yang terkena Covid-19 anak-anak, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jiwa anak-anak yang terisolasi sendirian di ruangan tanpa ditemani orang tua.

Sebentar saja tanpa orang tua (ibu misalnya), anak-anak menangis, konon lagi 14 hari!. Penanganan Covid-19 berbeda dengan penyakit lain. Pengalaman saya, baiknya tetap tinggal di rumah dan keluar seperlunya memakai masker. Sayangi anak-anak dan keluarga. Kalau bosan di rumah, kembali ingat ada anak-anak kita yang rentan tertular Covid-19 yang kita bawa dari luar.

Saat jadwal tiba, dokter Unsyiah memberikan arahan melalui video call. Sejenak saya mengamati alat rapid test berbentuk persegi panjang tersebut. Ada tulisan nCoV dan C T di samping tempat munculnya strip (hasil) serta dua lubang lainnya. Lubang pertama digunakan untuk memasukkan sampel darah yang keluar dari jari tengah kita. Alhamdulillah, rapid test saya disimpulkan negatif yang diketahui lewat satu strip yang muncul dari alat tersebut. Kalau dua strip maka terindikasi positif dan berlanjut dengan pemeriksaan PCR. Dokter menyarankan saya untuk tetap istirahat di rumah dan Alhamdulillah flu telah pulih.

Ada baiknya, rapid test ini bisa menjangkau seluruh warga Aceh. Mengingat Covid-19 dapat terinfeksi tanpa gejala, boleh jadi yang belum terdeteksi persentasenya lebih besar dibanding yang terdata. Oleh karenanya deteksi dini menjadi mutlak, bagaimana Pemerintah Aceh?

*Penulis: Yopi Ilhamsyah (Warga Aceh Besar)

Related posts