Dosen USK Dipenjara Gegara Kritik Kampus, Mahfud Upayakan Amnesti

Kesenjangan Sosial dinilai memantik konflik di Tanah Air
Mahfud MD. (Media Indonesia)

Jakarta (KANALACEH.COM) – Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan akan mengupayakan terpidana kasus UU ITE, Dosen Universitas Syiah (Unsyiah) Kuala, Aceh, Saiful Mahdi mendapatkan amnesti.

Diketahui, Saiful Mahdi saat ini masih mendekam dipenjara karena kasasi yang ia ajukan ke Mahkamah Agung ditolak pada Kamis (2/9). Ia ditetapkan sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik Pasal 27 ayat 3 UU ITE karena mengkritik kampus.

Mahfud menyatakan telah mendengarkan masukan dan permohonan mengenai amnesti yang diajukan Saiful. Ia akan segera memproses permohonan ini secepatnya. Menurutnya, permohonan amnesti dalam perkara ini layak.

“Kita akan memproses, mudah-mudahan bisa secepatnya. Kita usahakan, karena keputusan amnesti ada di Presiden. Kita usahakan agar keputusan tentang ini tidak membutuhkan waktu yang lama,” kata Mahfud dalam dialog dengan istri dari Saiful, LBH, dan sejumlah pakar atau akademisi seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima, Selasa (21/9/2021) malam.

Mereka yang datang dalam forum dialog dengan Mahfud itu adalah Dian Rubianty (istri Saiful Mahdi), Direktur LBH Banda Aceh Syahrul Putra, dan Damar Juniarto (SAFEnet). Sementara sejumlah akademisi yang hadir adalah Zainal Arifin Mochtar (UGM), Herlambang (Unair) dan Ni’matul Huda (UII). Mahfud mengatakan bahwa pemerintah telah mengeluarkan kebijakan restorative justice melalui peraturan agar tidak mudah menghukum orang yang diterbitkan kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung.

Selain itu, kata Mahfud, hal itu juga tercermin dari perintah presiden terhadap TNI-Polri dalam rakernas mengenai UU ITE dan dilanjutkan dengan penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri mengenai UU ITE.

Meski demikian, mengenai kasus yang menjerat Saiful Mahdi, Mahfud mengatakan tidak ada pihak aparat oenegak hukum yang bisa disalahkan dalam konteks dasar hukum formal karena membawa kasus ini ke pengadilan.

Sebab, kasus yang menimpa Saiful Mahdi terjadi pada 2019, sementara pemerintah baru menetapkan restorative justice pada 15 Februari 2021.

“Rancangan Undang-Undang berdasarkan SKB tersebut baru saja berhasil dimasukkan ke Program Legislasi Nasional,” tutur Mahfud yang dikenal pernah menjadi hakim konstitusi tersebut.

Dalam keterangan pers yang sama, Dian Rubianty berkeluh kesah ke Mahfud bahwa suaminya seakan tak kunjung selesai dihukum sebagai ‘korban dari UU ITE’. Selain telah ditahan selama 18 hari di lapas, nama Saiful pun disebutnya tak dihapus dan tak terdaftar lagi sebagai dosen di Unsyiah, Aceh.

Ironi itu terjadi, karena di satu sisi Lapas telah menyatakan bersedia memfasilitasi Saiful mengajar dari dalam bui.

Kemudian, Direktur LBH Aceh Syahrul Putra menilai sejak tahap pelaporan ke polisi dan persidangan, Saiful tidak diperlakukan dengan adil. Padahal, kata Syahrul, Saiful tidak mengkritik sosok pribadi seseorang, melainkan kejanggalan yang perlu dicari tahu kebenarannya.

Sebelumnya, Saiful Mahdi dilaporkan ke polisi setelah mengkritik proses penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Fakultas Teknik dna Teknologi, Unsyiah Kuala, Aceh 25 Februari 2019. Menurutnya, terdapat satu peserta yang dinyatakan lolos meskipun berkas yang diunggah salah. Kritik itu kemudian Saiful lontarkan melalui aplikasi Whatsapp.

Kemudian pada Juli 2019, Saiful dilaporkan ke Polresta Banda Aceh. Saiful lalu menjadi tersangka pencemaran nama baik berdasarkan pasal 27 ayat 3 UU ITE pada 2 September 2019, Saiful ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE.

Dalam proses hukum yang berjalan, majelis hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonis tiga bulan penjara dan denda Rp10 juta subsider satu bulan kurungan. Saiful lantas mengajukan banding namun ia kalah. Belum menyerah, ia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung namun kembali kandas. (CNN)

Related posts