Banda Aceh (KANALACEH.COM) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI Aceh) meminta DPRA membentuk pansus untuk tangani pencemaran udara yang terjadi di PT Medco E&P Malaka.
Sebab kebauan yang terjadi di sana sudah berdampak terhadap menurunnya kualitas kesehatan masyarakat, terutama perempuan, anak-anak, ibu hamil hingga lansia.
“Kami tunggu Pansus ini turun, WALHI siap mendampingi. Boleh juga membentuk Pansus baru, WALHI juga siap membantu. Karena kebauan di PT Medco E&P Malaka sudah berdampak serius terhadap kesehatan warga, terutama perempuan, anak-anak, ibu hamil hingga lansia,” kata Ahmad Shalihin dalam keterangannya, Jumat (27/1/2023).
Menurut Om Sol, sapaan akrab Ahmad Shalihin, pencemaran udara yang terjadi di empat gampong yaitu Blang Nisam, Alue Ie Mirah, Suka Makmur dan Jambo Lubok, Kabupaten Aceh Timur sudah 4 tahun lebih mencium bau tak sedap dan mulai resah.
Berbagai protes telah berulang kali dilayangkan oleh warga sejak 2019 lalu, tetapi hingga awal 2023 belum ada respon positif dari pemerintah Aceh maupun pihak perusahaan.
Ironisnya, sebut Om Sol, sudah 4 tahun warga memprotes kebauan tersebut tidak ada respon baik dari pemerintah Aceh maupun DPRA. Termasuk juga Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA) yang memiliki fungsi pengawasan terkesan lebih berpihak kepada perusahaan.
Justru respon pemerintah maupun BPMA telah menyakiti para korban, sebut Om Sol. Pasalnya, korban terus berjatuhan dan kebauan setiap saat dirasakan oleh warga dengan durasi variasi – antara 1 sampai 2 jam. Tetapi selama ini pemerintah masih saja berlindung di balik Permen LHK No 14 Tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara.
Seharusnya pemerintah, BPMA maupun DPRA harus memiliki sensitivitas terhadap dampak terhadap kesehatan warga. Terlebih warga memiliki hak untuk hidup sehat berdasar pasal 65 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Bila hak hidup sehat warga terus diabaikan oleh pemerintah, kata Om Sol, tidak menutup kemungkinan warga dapat menggunakan hak gugat masyarakat sesuai pasal 91 UU PPLH.
Kendati demikian, sebut Om Sol, warga yang tinggal di lingkar tambang dan maupun WALHI Aceh masih belum berniat untuk mempergunakan pasal tersebut. Karena masih berharap pemerintah, BPMA maupun DPRA untuk menuntaskan persoalan ini.
Meskipun warga saat ini sedang mengumpulkan dokumen dan bukti-bukti pencemaran udara tersebut. Bila sewaktu-waktu harus menempuh jalur hukum pencemaran udara yang terjadi di PT Medco E&P Malaka.
“BPMA dan Pemerintah Aceh itu jangan jadi juru bicara perusahaan, jangan selalu berlindung di balik Permen No 14 itu, harus memiliki sikap sensitivitas lah sedikit terhadap kondisi kesehatan warga,” kata Om Sol.
Berdasarkan catatan WALHI Aceh setelah beberapa kali menggelar pertemuan dengan warga. Sejak 2019 hingga akhir 2022 sudah 13 orang lebih yang menjadi korban, baik yang dirawat di Puskesmas maupun yang langsung dilarikan ke rumah sakit umum daerah Zubir Mahmud di Idi, Kabupaten Aceh Timur.
Keluhan mereka sesak nafas, mual, muntah-muntah, pusing, lemas hingga ada yang pingsan setelah menghirup bau busuk dari limbah proses produksi PT. Medco E&P Malaka. Korbannya lagi-lagi kebanyakan adalah perempuan, anak-anak serta lansia yang berusia di atas 80 tahun.
Baru-baru ini pada tanggal 2 Januari 2023, ada satu anak berusia 2 tahun dari Gampong Alue Patong harus dilarikan ke Puskesmas Alue Ie Merah dan satu orang dewasa mengalami sesak, mual-mual, muntah, pusing.
Untuk anak usia 2 tahun tersebut, pihak Puskesmas harus merujuk ke rumah sakit umum daerah Zubir Mahmud di Idi, karena tidak mampu ditangani di pusat kesehatan dasar.
Menurut Om Sol, penting DPRA segera membentuk Pansus atau Pansus yang sedang berjalan saat ini memiliki skala prioritas untuk mengaudit kebauan yang terjadi di PT Medco E&P Malaka.
“Jadi jangan menunggu korban semakin banyak, baru sibuk, boleh bentuk Pansus baru atau Pansus yang sudah ada harus memasukkan kasus kebauan di PT Medco tersebut agar lebih cepat,” ungkapnya.